Belajar bukanlah sebuah aktivitas yang berhenti di dalam kelas atau institusi pendidikan formal. Ia adalah proses hidup yang berkesinambungan, menyeluruh, dan tanpa batasan waktu. Manusia belajar melalui tahapan-tahapan yang terkadang tak terencana, namun membentuk pola sistematis yang mencerminkan perjalanan menuju pemahaman hidup itu sendiri.
Dalam Islam, belajar diibaratkan sebagai ibadah yang tak pernah usai, membawa manusia terus mendekat pada Allah. Artinya, belajar bukan sekadar menguasai pengetahuan, melainkan menumbuhkan jiwa, memperkaya rasa, serta mendekatkan diri pada Sang Pencipta.
Terinspirasi dari ungkapan Cak Nun sekilas dari tayangan Youtube tentang hidup yang benar, baik, indah, dan cinta. Tergugah untuk merenungkan sejauh menapaki perjalanan hidup. Kita melihat ada semacam pola sistematika dalam hidup ini, mencoba mengemasnya dalam empat tahap: menjalani, mengalami, merasakan, dan mencintai.
Setiap tahap membawa kita pada pemahaman lebih dalam tentang kebenaran, kebaikan, keindahan, dan cinta, yang akhirnya melebur menjadi satu proses belajar sepanjang hayat.
1. Menjalani: Belajar Tentang Kebenaran
Pada tahap ini, fokus utama adalah menjalani kehidupan berdasarkan aturan yang benar, meskipun pemahaman mendalam belum sepenuhnya terbentuk. Benar secara akal sehat, ajaran agama, moral dan seterunya maka menempuh, menerima dan menjalaninya secara sungguh-sungguh.
Sebagaimana firman Allah:
“Barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia akan menjadikan baginya jalan keluar” (QS. At-Talaq: 2).
Dalam menjalani, seseorang terlibat dalam kehidupan tanpa selalu memahami sepenuhnya apa yang terjadi. Seperti seorang siswa yang mengikuti pelajaran di sekolah, tahap ini lebih bersifat disiplin dan keteraturan.
Menjalani adalah langkah awal menuju kebenaran—sebuah fase di mana seseorang mematuhi aturan meski tanpa harus memahami seluruh hikmah di baliknya.
Dalam Islam, menjalani diartikan sebagai ketaatan pada perintah Allah meski hikmah di baliknya belum terlihat, sami’na wa’athana. Proses ini mengajarkan tentang kebenaran sebagai prinsip yang harus dijalani dalam hidup sehari-hari.
Kebenaran juga adalah sesuatu yang harus dijalani terkadang datang berdasarkan dari prinsip moral yang universal, sebagaimana dijelaskan oleh Immanuel Kant, bukan semata hasil yang diinginkan.
2. Mengalami: Belajar Tentang Kebaikan
Tahap kedua adalah mengalami. Ketika seseorang mulai mengalami sesuatu, mereka memasuki fase lebih dalam dari proses belajar. Di sini, mulai merasakan nilai dari tindakan yang dijalani. Tahap ini mengajarkan tentang kebaikan, ketika seseorang mulai menyadari manfaat dari apa yang mereka lakukan.
Dengan mengalami, kita mulai memahami bahwa kebaikan adalah bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup satu tahap lanjutan. Kebaikan dalam Islam terletak pada niat yang tulus. Amal perbuatan dinilai bukan hanya dari hasil, melainkan dari kesungguhan dalam proses.
Sebagaimana sabda Rasulullah:
“Allah tidak melihat kepada rupa dan harta benda kalian, tetapi Dia melihat kepada hati dan amal perbuatan kalian.” (HR. Muslim).
Aristoteles dalam etika kebajikannya menekankan bahwa kebaikan adalah kebiasaan yang dibentuk melalui latihan dan pengulangan. Dengan mengalami sesuatu, kita membangun kebiasaan baik dan mulai melihat kebaikan bukan sekadar hasil, tetapi proses yang dilalui.
3. Merasakan: Belajar Tentang Keindahan
Tahap ketiga adalah merasakan, di mana seseorang tidak hanya menjalani dan mengalami, tetapi mulai melihat keindahan dalam apa yang mereka lakukan. Pada tahap ini, belajar menjadi lebih dari sekadar menguasai materi dan keterampilan, tetapi juga merasakan harmoni dalam setiap tindakan yang dilakukan.
Keindahan di sini bukan sekadar visual, tetapi keselarasan antara tindakan dan hasil. Pada tahap ini, belajar menjadi sesuatu yang dinikmati dengan penuh kesadaran dan perhatian terhadap setiap detilnya.
Islam mengajarkan konsep keindahan erat kaitannya dengan ihsan—melakukan segala sesuatu dengan sebaik-baiknya. Merasakan keindahan dalam amal berarti menghargai setiap proses dengan penuh ketelitian.
Keindahan yang kita rasakan bukan hanya dari hasil akhir, tetapi dari keseluruhan usaha yang kita jalani setiap tahapannya. Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya Allah itu indah dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim).
4. Mencintai: Hakikat Perjalanan
Tahap terakhir dalam sistematika belajar sepanjang hayat adalah mencintai. Mencintai adalah ketika seseorang sepenuhnya menyatu dengan apa yang mereka lakukan. Pada tahap ini, belajar bukan lagi kewajiban, melainkan hasrat yang dilakukan dengan penuh cinta. Cinta tidak sekadar emosi, tetapi tindakan yang dilakukan dengan kesadaran penuh akan tujuan lebih besar.
Cinta adalah puncak dari proses belajar, di mana seluruh pengalaman, pengetahuan, dan rasa berhimpun menjadi satu. Dalam pandangan tasawuf, para ulama menyebut wahdatul wujud sebagai ekspresi cinta yang mendalam kepada Sang Pencipta, meskipun kerap dianggap menyimpang oleh sebagian kalangan.
Para pecinta sejati memahami bahwa cinta kepada Allah adalah cinta yang tak terbatas oleh syariat formal, melainkan menyentuh aspek terdalam dari eksistensi manusia. Dalam cinta ini, setiap proses belajar dan kehidupan menjadi ibadah, di mana kebenaran, kebaikan, dan keindahan menyatu.
Sebagaimana firman Allah:
“Dan orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165).
Keempat tahap ini—menjalani, mengalami, merasakan, dan mencintai—adalah bagian dari proses belajar sepanjang hayat yang tak terpisahkan. Masing-masing membawa kita lebih dalam pada pemahaman tentang kebenaran, kebaikan, keindahan, dan cinta.
Menempuh keempat tahapan dengan sungguh-sungguh pada setiap tahapnya akan memberi dampak pada arti dan makna hidup dan kehidupan ini. Memang tidak mudah karena itu jadikanlah semua itu sebagai pembelajaran, menempa diri sepanjang hayat.
Belajar adalah perjalanan yang tiada akhir, proses yang menuntun kita untuk memahami diri sendiri, dunia, dan hubungan kita dengan Sang Pencipta. Semua tahapan melebur menjadi satu kesatuan hingga memperkaya jiwa, mendekatkan kita kepada hakikat perjalanan hidup. Wa’Allahu’alam