Di negeri ini, berita bisa lebih cepat beredar dibanding hujan yang turun tiba-tiba. Seperti kisah Kaesang Pangarep yang menggunakan jet pribadi saat pergi ke Amerika Serikat bersama sang istri, Erina Gudono. Banyak yang bertanya-tanya, apakah ini gratifikasi atau sekadar kebetulan “nebeng” ala teman?
Kaesang, anak bungsu Presiden Jokowi, sepertinya tak pernah lepas dari sorotan. Isu penggunaan jet pribadi ini memancing banyak pendapat, mulai dari pejabat tinggi hingga pengamat setia timeline Twitter.
Sebagaimana melansir dari laman bisnis.com, ada yang mencium aroma gratifikasi, namun tak sedikit juga yang memasang badan, seperti Budi Arie, Menkominfo sekaligus Ketua Umum Projo. Dengan gaya santainya, Budi berargumen, “Enggak ada gratifikasi, dia kan pribadi, nah itu temannya.” Simpel, seolah menepis keributan seperti meniup debu di atas meja.
Belum puas? Budi Arie juga menyebutkan bahwa Erina Gudono, istri Kaesang, sedang hamil besar. Alasan ini yang menjadi latar belakang mengapa ia tidak boleh menggunakan pesawat umum. Sepertinya, kesehatan dan kenyamanan memang prioritas. Tapi yang membuat kisah ini semakin menarik adalah kenyataan bahwa ini bukan sekadar soal naik jet pribadi, melainkan tentang bagaimana publik merespons.
Kantor Kepresidenan pun tak ketinggalan. Hasan Nasbi, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, menambahkan perspektif menarik. Hasan menegaskan, Kaesang bukanlah pejabat publik, dan ia hanya menggunakan jet sebagai tumpangan, sama seperti Megawati dan Mahfud MD yang juga sering menggunakan fasilitas serupa. Jadi, kalau Megawati dan Mahfud bisa, kenapa Kaesang tidak? Cukup adil, bukan?
Namun, siapa yang jantungan? Mungkin kita semua, ketika menyadari bahwa kasus ini telah berubah dari sekadar perjalanan ke Amerika menjadi “trial by press,” sebagaimana yang dikatakan Hasan. Kita dibuat terkesima oleh dramatisasi yang terjadi, di mana sebuah perjalanan menjadi headline dan dibahas layaknya peristiwa besar.
Lucunya, Kaesang sendiri malah berinisiatif datang ke KPK untuk klarifikasi. Dia bilang, “Nebeng temen aja.” Ah, sederhana sekali jawabannya. Tak ada konspirasi, tak ada skandal besar. Hanya teman yang menawarkan tempat kosong di pesawatnya.
Anehnya, publik terus berusaha menggali siapa teman ini, seakan-akan ada rahasia besar yang tersembunyi. Padahal, kalaupun benar ini cuma nebeng, kenapa kita begitu terobsesi dengan detail kecil yang mungkin tak lebih dari sebuah kebetulan?
Sebagai warga negara yang baik, Kaesang sudah datang ke KPK untuk mencari nasihat dan klarifikasi. Tapi, yang lebih menarik mungkin bukan soal kehadirannya di KPK, melainkan bagaimana berita ini berkembang bak bola salju yang bergulir semakin besar. Dari dugaan gratifikasi hingga pertanyaan tentang siapa teman yang memiliki jet pribadi, drama ini seakan menyaingi sinetron jam prime time.
Terlepas dari itu semua, Presiden Jokowi menegaskan, “Semua warga negara sama di mata hukum.” Sementara sang kakak, Gibran Rakabuming, juga ikut membela dengan santai menolak isu gratifikasi dan menyebut hubungan dengan Shopee yang disebut-sebut tak lebih dari kesepakatan profesional.
Sebenarnya, dalam kisah ini, kita semua bisa belajar sesuatu. Kadang, sebuah masalah sederhana bisa menjadi besar karena ekspektasi kita yang terlalu tinggi, atau mungkin, karena kita terlalu cepat menarik kesimpulan.
Tapi, di tengah semua itu, ada hal lucu yang selalu hadir, bagaimana kita semua suka “jantungan” saat melihat hal yang sebenarnya tak seberapa besar. Mungkin bukan Kaesang bukan pula teman atau orang disekitarnya, yang jantungan, melainkan kita yang terlalu cepat bereaksi.
Di tengah hiruk-pikuk perdebatan yang seringkali kita hanya menjadi penonton tanpa terlibat langsung atau mendapatkan manfaat, mungkin ada baiknya kita rehat sejenak. Bisa jadi, kita terlalu lelah untuk melihat dengan jernih. Mari memberi ruang bagi kewarasan agar langkah kita ke depan tetap jelas dan bermanfaat.