Allah di Ramadhan Sama dengan Allah di Bulan Lainnya

Hari-hari selepas Idul Fitri perlahan kembali seperti semula. Para pelajar kembali ke sekolah, memulai pelajaran yang sempat terjeda. Para pemudik pun meninggalkan kampung halaman, pulang ke kota asal untuk melanjutkan kehidupan.

Jalanan kembali ramai, kantor-kantor beroperasi normal, roda aktivitas bergulir seperti sedia kala. Seakan Ramadhan kemarin hanya sekilas singgah dalam ingatan yang memudar.

Namun, di tengah kembalinya rutinitas ini, mari kita berhenti sejenak. Kita bertanya pada diri sendiri: bagaimana kabar jiwa kita setelah Ramadhan pergi?

Saat Ramadhan, banyak di antara kita begitu rajin tilawah. Mushaf Al-Qur’an hampir tak pernah jauh dari tangan. Ada yang khatam sekali, dua kali, bahkan lebih. Seakan waktu begitu lapang untuk mendekap Kalamullah.

Kini, setelah separuh Syawal terlewati, mari jujur bertanya: apakah mushaf itu masih terbuka setiap hari? Ataukah perlahan mulai berdebu, kalah sibuk dengan layar-layar dalam genggaman yang tawaran kesenangannya semakin canggih menyita pandangan kita?

Di Ramadhan, kita terbiasa bangun sahur. Bukan semata untuk makan, tapi menikmati hidangan ruhani di sepertiga malam terakhir. Saat Allah turun ke langit dunia, menawarkan ampunan, rahmat, dan jawaban atas doa-doa kita.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ:

“Rabb kita Tabaraka wa Ta’ala turun ke langit dunia setiap malam, ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman: Siapa yang berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Siapa yang meminta kepada-Ku, akan Aku beri. Siapa yang memohon ampun kepada-Ku, akan Aku ampuni.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Kini Ramadhan telah pergi. Tapi, masihkah kita terjaga di waktu itu? Masihkah kita merasakan kenikmatan berdiri dalam tahajud, menadahkan tangan dengan harap penuh?

Sebelum semuanya menjadi berat dan berkarat. Sebelum hati kita kembali mengeras oleh lalai dan rutinitas. Allah mengingatkan kita:

“Kemudian setelah itu hatimu menjadi keras seperti batu, bahkan lebih keras lagi…”
(QS. Al-Baqarah: 74)

Tentu kita berlindung dari kerasnya hati, sebelum itu terjadi maka janganlah kita berputus asa dari rahmat Allah. Dengan penuh kasih-Nya, Allah menguatkan kita lewat firman-Nya:

“…dan janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.”
(QS. Yusuf: 87)

Dengan rahmat-Nya, kita terbangun di waktu sahur selama Ramadhan. Maka, tetaplah bangun setelahnya, meski hanya beberapa saat, untuk berdiri dan bersujud kepada-Nya.

Dengan rahmat-Nya, begitu mudah kita membuka mushaf di bulan Ramadhan. Maka, jangan biarkan terputus setelahnya. Bukalah ia walau selembar satu halaman, sebaris satu ayat sehari, agar sambungan itu tetap terjalin, agar Rahmat-Nya terus mengalir.

Semua itu adalah rahmat-Nya. Teruslah terhubung dengan-Nya. Karena Allah di bulan Ramadhan adalah Allah yang sama di bulan-bulan lainnya.

Dia tidak pernah pergi. Rahmat-Nya tetap luas, ampunan-Nya selalu terbuka, dan kasih sayang-Nya tiada batas.
Sebagaimana firman-Nya:

“Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia berdoa kepada-Ku.”
(QS. Al-Baqarah: 186)

Maka mari kita bangunkan kembali jiwa yang sempat terlelap. Kita rawat bara Ramadhan agar tetap menyala, agar Syawal dan bulan-bulan setelahnya menjadi lanjutan perjalanan menuju taqwa.

Semoga kita menjadi hamba yang benar-benar terlatih, bukan hanya dalam sebulan, tapi dalam sepanjang kehidupan. Karena hakikatnya, Ramadhan berlalu, tapi Rabb Ramadhan selalu ada.

Visited 1 times, 1 visit(s) today

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Exit mobile version