Dalam satu diskusi kecil para aktivis lembaga keummatan, muncul keresahan kolektif yang kerap berulang, bagaimana semangat spiritual yang tinggi tidak selalu dibarengi dengan pemahaman struktural yang matang. Kesalehan sering dianggap cukup untuk menggerakkan organisasi, padahal ia harus disertai keterampilan manajerial dan prinsip operasional agar arah tetap jelas dan langkah tidak saling bertabrakan.
Dalam ruang-ruang lembaga keummatan, tak jarang kita menyaksikan sebuah ironi, pemimpin yang sangat kaya secara spiritual, namun miskin dalam empati struktural. Mereka yang setiap harinya fasih dengan dzikir dan syiar, namun saat membuat kebijakan seringkali abai terhadap kapasitas orang yang ditugaskan.
Boleh jadi ini bukan soal niat. Tidak pula soal kebaikan hati. Tetapi lebih pada kurangnya pemahaman tentang bagaimana struktur bekerja, atau terbatasnya penyampaian pengetahuan mengenai hal itu. Sehingga selama tak ada riak atau perlawanan yang berarti, semua tampak baik-baik saja. Padahal realitas organisasi berjalan bukan di atas langit, melainkan di atas tanah yang penuh batas dan beban.
Dalam beberapa forum dan ruang keputusan, kerap kita dengar istilah “samina wa atho’na” (kami dengar dan kami taat) digunakan bukan sebagai ungkapan iman, melainkan sebagai instruksi mutlak, terdengar sumbang dan terasa sayup mengarah pada tiran. Padahal dalam tradisi Islam, ketaatan selalu dibingkai oleh pemahaman, musyawarah, dan keadilan. Ketika frasa ini kehilangan konteks ruhaniahnya, ia berubah menjadi alat legitimasi kekuasaan.
Sering kali perintah dari atas tidak disertai dengan ruang diskusi, apalagi pertimbangan kapasitas. Pemimpin merasa sudah benar karena yakin bahwa ia bergerak atas dasar niat suci. Tapi bagi yang berada di bawah, mereka tidak punya banyak pilihan, menerima karena takut dosa, atau menolak dan dituduh ingkar terhadap amanah.
Dalam kondisi seperti ini, spiritualitas yang seharusnya menjadi cahaya, berubah menjadi senjata. Bukan untuk menuntun, tetapi untuk menekan.
Padahal dalam Islam, amanah bukanlah beban yang boleh dijatuhkan pada siapa saja tanpa persiapan. Al-Qur’an menyatakan dengan tegas:
“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil…” (QS. An-Nisa: 58)
Ayat ini bukan hanya perintah keadilan, tapi juga peringatan bahwa penempatan seseorang pada posisi tertentu harus dilandasi hak dan kemampuan. Dalam tafsir klasik, banyak ulama menjelaskan bahwa amanah yang diberikan kepada orang yang tidak tepat merupakan bentuk kezaliman struktural.
Misalnya, dalam Tafsir al-Jalalayn terkait QS. An-Nisa: 58, dijelaskan bahwa penyampaian amanah kepada ahlinya adalah kewajiban moral dan sosial yang mendasar, sementara penyelewengan terhadap prinsip ini adalah bentuk pengkhianatan terhadap keadilan.
Hal ini senada dengan pandangan Imam al-Qurtubi dalam Tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, yang menyebutkan bahwa memberikan jabatan atau tanggung jawab kepada orang yang tidak cakap adalah bentuk kezaliman dan penyebab kehancuran tatanan sosial.
Namun dalam realitas organisasi kita hari ini, apalagi yang berbasis agama dan sosial, sering kali keputusan hanya berdasarkan asumsi: “Dia orang baik,” “Dia pasti bisa kalau dibimbing,” atau yang paling sering, “Kalau sudah diberi amanah, Allah pasti tolong.”
Ya, Allah menolong. Tapi tidak dengan cara membiarkan kita menutup mata dari kaidah-kaidah operasional yang logis dan manusiawi. Karena Rasulullah SAW sendiri selalu memilih orang berdasarkan kesiapan dan kapasitas. Ketika mengirim Muadz bin Jabal ke Yaman, Rasul tidak hanya berkata, “Bertakwalah.” Beliau memberi panduan teknis, menjelaskan konteks masyarakat, dan memberi ruang evaluasi.
Berikut kisah dialogis dalam hadits yang diriwayat Bukhari (HR. Bukhari no. 7399), Rasulullah bertanya kepada Muadz bin Jabal, “Dengan apa kamu akan memutuskan hukum?” Muadz menjawab, “Dengan Kitabullah.” Rasul bertanya lagi, “Kalau tidak ada di dalamnya?” Muadz menjawab, “Dengan sunnah Rasulullah.” Rasul melanjutkan, “Jika tidak juga ditemukan?” Muadz menjawab, “Maka aku akan berijtihad dengan pendapatku tanpa ragu-ragu.” Rasulullah pun memuji dan merestui metode itu dengan bersabda, “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah terhadap apa yang diridhai Rasulullah.”
Kisah tersebut menunjukkan bahwa pemberian amanah dalam konteks manajerial Islam disertai arahan, kejelasan kerangka kerja, serta pengakuan atas dinamika lapangan, selaras dengan konsep modern manajemen sumber daya manusia yang menekankan pentingnya briefing, role clarity, dan capacity building.
Sedalam samudera ada dasarnya, sebatang pohon ada akarnya, setiap laku ada prinsip yang dipegangnya. Begitu pula dalam organisasi, di balik setiap langkah strategis, harus ada landasan prinsipil. Salah satu prinsip mendasar di organisasi yang vital kerap terabaikan dalam manajemen sumber daya manusia adalah “the right man on the right job at the right time.” Prinsip ini menekankan bahwa keberhasilan organisasi sangat ditentukan oleh kecocokan antara individu, posisi, dan waktu penugasannya.
Seperti yang ditegaskan oleh ahli manajemen Jim Collins dalam bukunya Good to Great, organisasi hebat adalah yang menempatkan “orang yang tepat di kursi yang tepat di dalam bus yang benar.” Dalam konteks keummatan, hal ini berarti bukan hanya soal kesalehan personal, tetapi juga kesesuaian kemampuan, pengalaman, dan kesiapan individu dengan amanah yang diemban. Tanpa mempertimbangkan prinsip ini, organisasi rawan stagnasi bahkan konflik yang menguras energi kolektif.
Apalagi jika keputusan itu dilandasi oleh jejaring relasi personal. Di sinilah konflik struktural mulai membentuk diri secara diam-diam. Posisi rangkap, hubungan keluarga, atau jejaring struktural vertikal membuat bawahan tak berdaya menyampaikan kritik. Ketika mereka menyuarakan keberatan, dicap sebagai pembangkang. Ketika mereka diam, beban terus menumpuk hingga akhirnya meledak dalam bentuk pengunduran diri atau stagnasi lembaga.
Fenomena ini bukan hanya menguras sumber daya organisasi, tapi juga merusak ekosistem kaderisasi. Orang-orang yang potensial, tetapi punya integritas, memilih menjauh. Sementara yang bertahan adalah mereka yang bisa menyesuaikan diri dengan sistem tekanan dan basa-basi.
Inilah yang kita maksud sebagai krisis kepemimpinan keummatan, ketika spiritualitas tidak diiringi kesadaran struktural. Ketika doa menjadi panjang, tapi tidak disertai data–permintaan yang tak definitif. Ketika ayat digunakan sebagai “palu”, bukan pelita.
Lebih lagi menyakitkan bawahan, ketika pada akhirnya pemimpin merasa tidak berdosa. Mereka dengan mudahnya berkata, “Kami hanya memberi amanah.” Padahal amanah yang diberikan tanpa kesiapan adalah bentuk kekerasan psikologis. Ia membebani seseorang dengan tanggung jawab yang tak mampu ia pikul. Dalam hal ini, relevan untuk mengingat firman Allah: “Laa yukallifullahu nafsan illa wus’aha” — “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” (QS. Al-Baqarah: 286).
Ayat ini menunjukkan bahwa pemberian amanah seharusnya mempertimbangkan kapasitas dan daya dukung individu yang menerima. Jika tidak, bukan hanya potensi individu yang tercederai, tapi juga tatanan organisasi yang terganggu. Dan saat orang itu gagal, yang disalahkan adalah mentalnya, bukan sistemnya.
Sehingga mungkin ada juga atasan yang mengatakan “Kalau kamu samina wa atho’na, ya jangan samina wa pikir-pikirna,”. Kalimat yang menarik namun tanpa disadari, kalimat itu telah berpotensi mencederai prinsip musyawarah dalam Islam. Sebab samina wa atho’na tidak pernah dimaksudkan sebagai ketaatan buta.
Dalam konteks ayat Al-Baqarah 285, ia muncul setelah pemahaman, bukan sekadar perintah. Bahkan dalam sejarah kenabian, kita bisa belajar dari kisah Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan putranya, Ismail ‘alaihissalam. Ketika Ibrahim ‘alaihissalam mendapat perintah untuk menyembelih anaknya, beliau tidak serta-merta memaksakan kehendak atas nama wahyu. Beliau terlebih dahulu berdialog dengan Ismail ‘alaihissalam: “Wahai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!” (QS. Ash-Shaffat: 102).
Dialog tersebut menunjukkan penghormatan terhadap kapasitas dan kesiapan, sekaligus menjadi contoh betapa ketaatan lahir dari kesadaran, bukan tekanan. Ismail pun menjawab dengan penuh keimanan dan kesiapan, menunjukkan bahwa samina wa atho’na adalah hasil dari relasi batiniah yang matang, bukan sekadar kepatuhan struktural.
Organisasi yang sehat tidak dibangun di atas ketundukan total, tapi pada ruang berpikir yang jernih. Samina wa atho’na lahir bukan dari tekanan, tapi dari kepercayaan yang tumbuh karena keteladanan dan keadilan dalam mengambil keputusan.
Maka tidak heran, jika banyak lembaga dakwah hari ini berjalan hanya karena rutinitas, seolah kehilangan ruhnya. Agenda tetap terlaksana, laporan tetap disusun, tapi daya hidupnya mati. Karena orang-orang di dalamnya bisa jadi bukan bekerja karena cinta, tapi karena rasa takut pada makhluk.
Mungkin saatnya kita meski tidak serta-merta mengganti mantra lama, namun menempatkannya dalam urutan yang lebih sehat dan manusiawi: “Samina wa tafakkarna” — Kami dengar dan kami renungkan — sebagai pendahulu dari “samina wa atho’na”. Urutan ini menjadi semacam rem spiritual sekaligus alat ukur struktural sebelum sebuah amanah dijalankan. Sebagai bentuk check and balance, jika “samina wa atho’na” adalah tombol kesiapan, maka “samina wa tafakkarna” adalah ruh penggerak awal yang memastikan tombol itu ditekan dengan kesadaran, ilmu, dan kebijaksanaan.
Dengan merenung, kita menakar. Dengan menakar, kita memberi amanah secara adil dan manusiawi. Pemberi amanah tidak menjadi penekan, dan penerima amanah tidak merasa terpaksa. Justru, proses ini menyadarkan individu akan kapasitas dirinya, membuka ruang tumbuh, dan memunculkan kesediaan yang lahir dari kesiapan — bukan sekadar kepatuhan struktural, melainkan ikhtiar spiritual yang mendalam.
Bukan ajakan untuk “memberontak” atau menghadirkan ketidasopanan terhadap ketaatan yang mungkin sudah mengkar sebagai kultur organisasi. Tapi justru ini ajakan untuk meninjau dan membangun kembali kultur organisasi yang lebih sehat.
Agar spiritualitas menjadi pijakan kebijakan, bukan pelindung dari evaluasi hingga anti kritik. Agar pemimpin tidak hanya merasa benar, tapi benar-benar membawahi, mengayomi dan membenahi dengan adil, bijaksana dan manusiawi. Karena setiap kepemimpinan yang ditunjukan setantiasa diuji dalam segala kondisi diri pemimpin dan pengikut serta situasinya yang menuntut pertanggungjawaban.
Rasulullah SAW bersabda, “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Pertanggungjawaban itu bukan hanya di akhirat, tapi juga di dunia, melalui wajah-wajah bawahan yang lelah karena ditimpa amanah yang tak mereka minta. Melalui kader-kader yang pergi diam-diam karena tak lagi sanggup hidup dalam sistem yang hanya mendengar suara dari atas.
Mari kita belajar, bahwa bukan semua ketaatan adalah tanda keberhasilan. Bisa jadi itu tanda ketakutan. Dan bukan semua keberangkatan atau kepergian adalah bentuk ketidakloyalan. Bisa jadi itu satu-satunya cara menyelamatkan nurani.
Organisasi keummatan harus menjadi ruang hidup, bukan ruang tekanan yang suatu saat meledak memecah konsentrasi tujuan. Organisasi harus menjadi tempat bertumbuh, bukan tempat tertekan. Dan itu hanya bisa terjadi jika para pemimpinnya tidak hanya kuat secara spiritual, tapi juga matang dalam memahami struktur, manusia, dan dinamika zaman.
Semoga kita semua diberi tidak hanya keberanian tapi kemampuan untuk mendengar — tak hanya apa yang dikatakan secara lisan, tapi juga yang disampaikan oleh diam-diamnya mereka yang tak sanggup berkata-kata. Mendengar tidak hanya suara, memang ini problem komunikasi yang kerap mudah terabaikan sebagaimana perhatian Peter Drucker “The most important thing in communication is to hear what isn’t”. Jika sebagai pemimpin kita mestilah menuntut diri mendengar dan berpikir terlebih dahulu sebelum akhirnya menuntut bawahan mendengar dan taat kemudian.
Menjalankan organisasi keummatan sejatinya adalah menyatukan ruh dan akal–antara diri satu dengan lainnya, kolaborasi semangat dan struktur, antara keyakinan dan kompetensi satu sama lainnya. Maka, Samina wa Atho’na bukanlah perintah kosong tanpa pertimbangan. Ia adalah hasil dari kepercayaan yang dibangun melalui dialog–saling mendengar, adanya kejelasan arah, dan penghormatan terhadap kapasitas insaniyah.
Kita sebagai aktivis tidak ingin organisasi tampak hidup di permukaan, tetapi rapuh di dalam. Saatnya menanam spiritualitas sebagai akar, dan struktur sebagai batang, agar buah yang dihasilkan bukan hanya indah dilihat, tapi juga memberi keberkahan bagi yang memetiknya.
Saatnya membangun ruang organisasi yang sehat di mana spiritualitas adalah pondasi, dan struktur adalah kerangkanya. Agar mereka yang bekerja di dalamnya tidak hanya bekerja karena takut salah, tapi karena sadar akan panggilan dan sanggup mengembannya sebagai rasa syukur atas karunia yang Allah berikan. wallahu’alam