Dalam beberapa waktu terakhir, saya sering kali mendengar dan mengamati percakapan tentang pentingnya kecerdasan emosional dalam berbagai interaksi, baik di tempat kerja maupun dalam kehidupan sehari-hari.
Fenomena ini kembali mengingatkan saya pada sebuah buku yang pernah saya baca sekitar 15 tahun lalu, Intelligence Emotional 2.0 karya Travis Bradberry dan Jean Greaves. Buku ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana kecerdasan emosional memainkan peran kunci dalam kesuksesan seseorang, khususnya di dunia profesional.
Dalam edisi bahasa Indonesia, buku ini memperkenalkan konsep yang menggambarkan betapa pentingnya keterampilan ini di berbagai level jabatan, yah kecerdasan emosi adalah keterampilan.
Namun, sebuah pertanyaan menarik muncul: apakah semakin tinggi posisi seseorang dalam sebuah organisasi, semakin rendah tingkat kecerdasan emosionalnya? bagaimana itu terjadi ?
Berdasarkan data dari setengah juta responden diberbagai posisi individu dalam orgenaisasi yang menjadi studi dari buku Intelligence Emotional 2.0, namapak sebuah diagram, menunjukkan hubungan antara kecerdasan emosional dan jabatan kerja.
Diagram tersebut mengelompokkan berbagai jabatan ke dalam tiga hierarki manajemen, yakni Bottom Management, Middle Management, dan Top Management, berikut penjelasannya:
1. Bottom Management: Karyawan dan Supervisor
Di level ini, kita melihat bahwa kecerdasan emosional cukup tinggi, terutama pada posisi Supervisor yang menunjukkan puncak tertinggi dalam diagram. Karyawan pada umumnya juga menunjukkan kecerdasan emosional yang baik.
Pada level ini, individu seringkali terlibat langsung dengan operasional sehari-hari dan berinteraksi secara intens dengan tim dan pelanggan. Supervisor, yang berada di garis depan dalam memimpin tim, membutuhkan kecerdasan emosional yang tinggi untuk mengelola diri sendiri dan tim mereka dengan efektif.
2. Middle Management: Manajer dan Direktur
Pada level ini, posisi Manajer menunjukkan tingkat kecerdasan emosional tertinggi di antara semua jabatan dalam diagram. Ini mungkin disebabkan oleh peran Manajer yang menuntut mereka untuk menjembatani komunikasi antara tim operasional dan jajaran eksekutif.
Mereka harus mampu memahami dan mengelola emosi baik dari bawahannya maupun dari atasan mereka, sehingga memerlukan kecerdasan emosional yang optimal.
Direktur, meskipun masih menunjukkan tingkat kecerdasan emosional yang cukup tinggi, mulai menunjukkan penurunan dibandingkan dengan Manajer.
Hal ini bisa terjadi karena semakin bertambahnya kompleksitas tanggung jawab yang harus diemban oleh seorang Direktur.
3. Top Management: Executive/VP, Senior Executive, dan CEO
Pada level Top Management, terlihat penurunan yang signifikan dalam kecerdasan emosional. Posisi seperti Executive/VP, Senior Executive, dan CEO menunjukkan tingkat kecerdasan emosional yang lebih rendah dibandingkan dengan jabatan lainnya.
Ini bisa disebabkan oleh isolasi yang sering terjadi di level ini, di mana pemimpin puncak jarang menerima umpan balik yang jujur dari bawahannya.
Selain itu, tekanan tinggi dan kebutuhan untuk mengambil keputusan strategis dengan cepat bisa membuat aspek emosional menjadi kurang diprioritaskan.
Analisis dan Pemahaman
Dari diagram dan data yang ada, kita bisa menarik kesimpulan bahwa kecerdasan emosional cenderung menurun seiring dengan meningkatnya posisi dalam organisasi. Namun, ini bukanlah suatu hal yang mutlak.
Posisi yang lebih tinggi membawa tantangan yang lebih besar dalam mempertahankan kecerdasan emosional, tetapi hal ini justru menunjukkan bahwa mereka yang mampu melakukannya akan menjadi pemimpin yang lebih efektif dan berpengaruh.
Dalam Islam, kita diajarkan bahwa pemimpin yang baik adalah mereka yang mampu menjaga keseimbangan antara hati (emosi) dan akal (rasionalitas).
Rasulullah SAW mengajarkan kita untuk bersikap lemah lembut dan mengendalikan diri, bahkan dalam posisi tertinggi sekalipun. Sebuah hadits menyatakan, “Pemimpin dari suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR. Abu Dawud).
Ini menegaskan bahwa kecerdasan emosional, seperti empati dan pengendalian diri, adalah bagian integral dari kepemimpinan yang sukses.
Pemikiran klasik juga sejalan dengan hal ini. Aristoteles, dalam Nicomachean Ethics, menyatakan bahwa kebajikan tertinggi adalah keseimbangan (mesotes) antara dua ekstrem.
Dalam konteks kepemimpinan, ini berarti seorang pemimpin harus mampu menyeimbangkan antara emosionalitas dan rasionalitas, tidak terlalu emosional namun juga tidak terlalu dingin dan terpisah dari emosi.
Sementara itu, pemikir modern seperti Daniel Goleman dalam bukunya Emotional Intelligence menegaskan bahwa kecerdasan emosional adalah salah satu kunci keberhasilan dalam kepemimpinan.
Pada akhirnya, kita harus menyadari bahwa tantangan terbesar bagi pemimpin di posisi tertinggi adalah bagaimana mereka dapat tetap terhubung secara emosional dengan tim mereka, sambil tetap mengambil keputusan strategis yang rasional.
Kecerdasan emosional yang tinggi tidak hanya membantu menjaga keharmonisan dalam tim, tetapi juga memfasilitasi pengambilan keputusan yang lebih bijaksana dan berorientasi pada kepentingan bersama.
Dengan demikian, kita bisa menyimpulkan bahwa meskipun posisi yang lebih tinggi cenderung diikuti oleh penurunan kecerdasan emosional, hal ini tidak harus menjadi kenyataan yang tak terhindarkan.
Sebaliknya, ini adalah panggilan bagi setiap pemimpin untuk terus memperhatikan dan mengembangkan kecerdasan emosional mereka seiring dengan meningkatnya tanggung jawab dan tekanan dalam peran mereka.