Dalam pemaknaan hakikinya, pendidikan bukanlah sekadar proses akademik atau penyampaian informasi, melainkan sebuah perjalanan eksistensial, penemuan makna kehidupan dan keterhubungan dengan realitas secara mendalam. Ia merupakan proses seumur hidup, yang menghidupkan harapan dan membimbing manusia pada tujuan eksistensialnya. Pendidikan sejati bukan hanya alat untuk hidup, tapi kehidupan itu sendiri.
Paulo Freire, filsuf dan pendidik asal Brasil, mengkritik keras model pendidikan yang disebutnya sebagai “pendidikan gaya bank”. Dalam model ini, murid diposisikan sebagai wadah pasif, sekadar tempat penyimpanan pengetahuan yang diisi oleh guru. “Dalam pendidikan gaya bank, pengetahuan menjadi hadiah bagi mereka yang menganggap dirinya tahu, dan murid menjadi orang yang tidak tahu,” tulis Freire dalam Pedagogy of the Oppressed (1970).
Model pendidikan gaya bank ini menciptakan ketimpangan relasi, mematikan kesadaran kritis, dan menjauhkan murid dari proses pembebasan dirinya sendiri. Murid mungkin saja menyerap banyak pengetahuan, namun tidak diarahkan untuk memahami arah dan makna keberadaannya — secara mental, sikap dan perilaku. Mereka bagaikan berjalan dalam terang tanpa cahaya makna, sebuah keadaan yang digambarkan dalam ayat:
أَفَمَن شَرَحَ ٱللَّهُ صَدْرَهُ لِلْإِسْلَـٰمِ فَهُوَ عَلَىٰ نُورٍۢ مِّن رَّبِّهِۦ
“Maka apakah orang yang dibukakan Allah hatinya untuk (menerima) Islam lalu ia mendapat cahaya dari Tuhannya…” — QS Az-Zumar: 22.
Sebaliknya, Freire menekankan pentingnya pendidikan yang dialogis dan membebaskan, di mana guru dan murid sama-sama belajar, menggali makna dari materi secara kontekstual, dan membangun kesadaran kritis terhadap realitas. Contohnya dapat ditemukan dalam metode pengajaran berbasis masalah (problem-posing education), di mana murid diajak untuk mengkaji isu-isu sosial di lingkungan mereka, berdiskusi secara kritis, dan merumuskan solusi bersama. Pendidikan sejati menuntut interaksi yang hidup antara guru, murid, dan dunia di sekitarnya. Materi pelajaran bukan sekadar fakta, tapi alat untuk membaca dunia.
John Dewey, filsuf pendidikan dari Amerika Serikat, memperkuat perspektif ini dengan menyatakan bahwa “pendidikan bukan mempersiapan untuk hidup, melainkan kehidupan itu sendiri” (Experience and Education, 1938). Artinya, proses belajar sejati berlangsung di dalam hidup itu sendiri, melalui pengalaman langsung, keterlibatan aktif, dan refleksi mendalam.
Segala yang tersurat dan tersirat dalam kehidupan adalah bahan belajar yang sahih. Misalnya, pengalaman merawat orang tua yang sakit bisa mengajarkan nilai-nilai kesabaran dan kasih sayang yang tak diajarkan di ruang kelas. Begitu pula, kegagalan dalam usaha dapat menjadi guru terbaik dalam membentuk karakter dan ketangguhan seseorang. Dalam hal ini, pembelajaran menjadi proses spiritual dan eksistensial yang menyeluruh.
Pendidikan sejati mengantar manusia pada kemerdekaan diri, bukan hanya dari dominasi eksternal, tetapi juga dari kebodohan, ketergantungan, dan keterasingan dari dirinya sendiri. Kemerdekaan ini bukan otonomi absolut, melainkan ketersambungan yang utuh dengan realitas yang transenden. Di sinilah pendidikan bersentuhan dengan spiritualitas.
Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah teladan utama dalam pendidikan yang memerdekakan. Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang mulia” (HR. Ahmad), yang menunjukkan bahwa inti dari pendidikan adalah pembentukan karakter yang luhur.
Dalam interaksinya, beliau memuliakan para sahabatnya, membebaskan para budak, dan mengangkat martabat mereka tanpa memandang status sosial—sebuah revolusi pendidikan berbasis kemanusiaan dan keadilan spiritual.
Melalui pendidikan spiritual dan sosialnya, beliau mampu mengangkat derajat budak menjadi pemimpin, dari keterhinaan menuju kemuliaan. Kisah Bilal bin Rabah yang mampu melawan tuannya setelah menemukan makna dirinya sebagai hamba Allah, adalah bukti bahwa pendidikan sejati membebaskan jiwa, bukan sekadar memberi pengetahuan.
Dengan demikian, pendidikan sejati adalah proses menumbuhkan manusia yang sadar, merdeka, dan terhubung. Ia tidak menjadikan murid sekadar obyek pembelajaran, tetapi subyek yang utuh, aktif, dan hidup.
Pendidikan sejati adalah jalan sunyi tapi terang, sebuah perjalanan personal yang dalam, sering kali sepi dari sorotan dunia, namun membawa pencerahan batin dan kebijaksanaan yang menyinari arah hidup, di mana setiap jiwa diajak menemukan dirinya, dan bersandar hanya kepada yang layak disandari: kepada kebenaran, kepada kemanusiaan, dan tentu saja kepada Yang Maha Hidup. wallahu’alam