Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2023 mencapai 278,69 juta jiwa. Namun, fakta ini kontras dengan tingkat minat baca masyarakat yang sangat rendah. Berdasarkan data UNESCO, hanya 0,001% masyarakat Indonesia yang memiliki minat baca aktif. Ini berarti, dari 1000 orang Indonesia, hanya satu orang yang gemar dan rutin membaca.
Bahkan, menurut survei Program for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2019, Indonesia menempati peringkat ke-62 dari 70 negara dalam hal literasi meski kemudian ada kenaikan 5-6 tingkat pada 2022 namun melihat keterlibatan ada 81 negara. Dengan kata lain, berdasar survei yang biasa dilaksanakan pertiga tahun ini, Indonesia masih termasuk dalam 10 negara dengan tingkat literasi terendah.
Mungkin tulisan ini adalah satu dari ribuan, jutaan, atau entah yang keberapa tentang pentingnya literasi yang hadir di hadapan pembaca. Sajian data, fenomena, kisah-kisah tokoh, perbandingan antar bangsa, atau sejarah peradaban terkait literasi mungkin sudah menjadi pengulangan yang familiar.
Pertanyaannya, mengapa kita terus berbicara tentang literasi, namun perubahannya terasa begitu lamban? Apakah karena sekadar memahami pentingnya literasi tidak lagi cukup?
Fenomena rendahnya minat baca bukan hanya mencerminkan kurangnya keinginan membaca buku, tetapi lebih jauh lagi, ini menggambarkan kelemahan dalam kemampuan berpikir kritis, berimajinasi, dan bercita-cita.
Buku, meski hanyalah salah satu medium literasi, tetap menjadi langkah awal yang penting untuk memperkuat kemampuan berpikir dan meresapi makna secara lebih dalam. Membaca buku menciptakan koneksi yang lebih mendalam dengan ide-ide dan pengalaman reflektif, yang seringkali tidak bisa dicapai melalui konsumsi cepat media digital.
Namun, literasi sesungguhnya melampaui sekadar membaca buku. Literasi adalah kemampuan untuk memahami, merenung, dan mengkritisi semua yang kita lihat, dengar, dan alami dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, buku tetap menjadi medium fundamental dalam membangun fondasi literasi yang kuat, meskipun bukan satu-satunya.
Memulai dari buku adalah langkah penting dalam mengasah kepekaan terhadap informasi dan pembelajaran yang lebih luas, membangkitkan intelektualitas, emosi, dan spiritualitas kita sebagai manusia yang berdaya pikir dan berdaya hidup.
Lemah Minat Baca = Lemah Berpikir
Menggali lebih dalam, kita dapat melihat bahwa sejarah mencatat salah satu faktor utama yang mendorong kebangkitan suatu bangsa adalah budaya membaca. Jepang, misalnya, mengalami transformasi besar setelah Revolusi Meiji, ketika mereka mulai menanamkan budaya membaca secara masif.
Jepang tak pernah abstain sebagai referensi negara yang memilik minat baca yang tinggi. Tachiyomi, istilah budaya membaca sambil berdiri yang populer dan mengakar betapa budaya membaca di Jepang memang mendarah daging.
Hasilnya, Jepang muncul sebagai salah satu negara dengan tingkat literasi tertinggi di dunia, yang berdampak signifikan pada kemajuan teknologi dan inovasi. Sebaliknya, bangsa-bangsa yang mengabaikan literasi akan mengalami stagnasi dalam perkembangan berpikir dan kreativitas.
Di Indonesia, kita bisa melihat sosok-sosok pahlawan seperti Soekarno, Hatta, dan Tan Malaka, yang merupakan pembaca ulung. Mereka mengkaji karya-karya besar dari seluruh dunia, merefleksikannya, dan menjadikannya sebagai pijakan untuk membangun gagasan kemerdekaan.
Bacaan mereka tidak sekadar bersifat literal, tetapi juga mendalam, mendorong mereka untuk berpikir kritis tentang nasib bangsa dan mencari solusi yang inovatif.
Lemahnya minat baca di kalangan generasi muda saat ini seharusnya menjadi alarm bagi kita, mencerminkan lemahnya daya pikir dan imajinasi yang diperlukan untuk membawa perubahan yang signifikan.
Membaca Menumbuhkan Imajinasi dan Cita-Cita
Membaca adalah jembatan untuk memperluas imajinasi dan cita-cita. Melalui bacaan, kita tidak hanya belajar hal-hal baru, tetapi juga mendapatkan perspektif yang lebih luas tentang kehidupan.
Albert Einstein, contohnya, menegaskan bahwa banyak dari gagasan briliannya lahir dari proses imajinasi yang dipicu oleh minat baca dan refleksi. “Imagination is more important than knowledge,” Einstein menunjukkan betapa mendalamnya keterkaitan antara membaca dan imajinasi.
Di tanah air kita, Pramoedya Ananta Toer adalah contoh nyata dari seorang penulis yang mampu membangkitkan kesadaran sejarah dan budaya melalui karya-karyanya. Lewat narasi-narasinya, Pram tidak hanya menyajikan fakta-fakta, tetapi juga menumbuhkan imajinasi yang dapat menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya memperjuangkan hak dan keadilan.
Jika minat baca lemah, maka kemampuan bermimpi dan beraspirasi pun akan terkikis. Bacaan yang merangsang imajinasi dan memberi inspirasi menjadi sangat penting untuk membantu tidak hanya bermimpi, tetapi juga mewujudkan cita-cita mereka.
Membaca dengan Kebutuhan
Kesadaran diri merupakan kunci dalam membangun kebiasaan membaca yang produktif. Ketika seseorang menyadari bahwa dirinya kurang tahu, hal tersebut akan mendorongnya untuk mencari tahu lebih banyak melalui bacaan.
Kesadaran ketidaktahuan diri adalah fondasi yang memicu kebutuhan untuk belajar dan memahami dunia dengan lebih baik. Dalam Islam, prinsip ini sangat ditekankan. Sebuah hadis menyatakan, “Tuntutlah ilmu dari buaian sampai liang lahat,” menegaskan pentingnya membaca sepanjang hayat.
Membaca bukan sekadar memperoleh informasi, tetapi lebih pada membentuk kesadaran diri yang mendalam tentang potensi dan batasan manusia. Membaca seprti ini mengubah kekuatan potensial menjadi aktual, dan memerdekakan diri melampaui jeratan situasi dan kondisinya.
Sosok Buya Hamka menjadi contoh yang baik dalam hal ini. Meskipun tidak mendapat pendidikan formal yang tinggi, ia memanfaatkan kebiasaan membaca secara mandiri untuk menghasilkan karya-karya monumental yang menjadi referensi di berbagai bidang. Kesadaran diri Hamka untuk terus belajar menjadikannya seorang pemikir besar yang memberikan kontribusi signifikan bagi bangsa dan agamanya.
Membaca seharusnya dipandang sebagai sarana untuk membangkitkan pikiran, menggali gagasan, dan mencari solusi. Dalam hal ini tampilah Malcolm X, pemimpin hak-hak sipil di Amerika Serikat. Di penjara, ia membaca berbagai karya filsafat, sejarah, dan agama yang mengubah pandangannya secara mendalam. Melalui proses membaca ini, ia menemukan kekuatan untuk berjuang bagi keadilan dan hak asasi manusia.
Jika kita ingin mendorong minat baca, kita harus mengubah pandangan bahwa membaca adalah kewajiban akademik semata. Kita harus membangkitkan kesadaran bahwa membaca dapat memberikan kebebasan berpikir dan membantu kita menuju pemikiran yang lebih solutif dan kritis.
Kuatkan Pikiran dengan Bacaan – Teladan Pemimpin
Dalam upaya membangun kesadaran literasi yang mendalam dan berkelanjutan, sepatutnya meneladani sosok Rasulullah Muhammad SAW. Meskipun beliau adalah seorang ummi (tidak bisa membaca secara literal), Rasulullah adalah pembaca yang luar biasa—bukan hanya membaca teks, tetapi juga memahami tanda-tanda alam dan realitas kehidupan.
Wahyu pertama yang diterima beliau adalah Iqra, yang artinya “Bacalah.” Ini adalah perintah yang tidak hanya bersifat literal, tetapi juga mengajak kita untuk merenungkan, memahami, dan menggali makna lebih dalam dari kehidupan.
Rasulullah menginspirasi para sahabat untuk menjadi pembaca hebat, baik secara literal maupun hakikatnya. Salah satu contoh sahabat yang bersemangat dalam membaca adalah Umar bin Khattab. Sebelum masuk Islam, ia adalah penentang keras, tetapi setelah merenungkan wahyu Al-Qur’an, ia berubah dan menjadi salah satu pemimpin paling berpengaruh dalam sejarah Islam.
Salah satu momen penting yang menunjukkan kecintaan Umar ra pada bacaan terjadi ketika ia ditemukan sedang memegang kitab Taurat. Rasulullah SAW menegurnya, menyatakan bahwa jika Nabi Musa masih hidup saat itu, ia tentu akan membaca apa yang diturunkan Allah kepada Rasulullah.
Teguran ini bukan hanya mencerminkan pentingnya membaca wahyu yang lebih baru, tetapi juga menunjukkan bagaimana Umar menghargai pengetahuan dari berbagai sumber. Kecintaannya pada membaca menjadikannya sebagai seorang pemimpin yang bijak dan berpandangan luas, yang terus mencari kebenaran dan pengetahuan untuk kemajuan umat.
Demikian juga Khalifah-khalifah dan cendekiawan Muslim seperti Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibnu Sina juga membuktikan bagaimana kekuatan membaca—baik teks maupun kehidupan—telah membawa peradaban Islam ke puncak keemasan.
Dengan meneladani Rasulullah dan para sahabat, kisah tokoh-tokoh yang memiliki minat dan komitmen yang tinggi, kita dapat memahami bahwa membaca bukan hanya aktivitas akademis atau literer, tetapi lebih mendalam lagi—sebuah proses spiritual dan intelektual untuk memahami diri, dunia dan Tuhan.
Jika kita bisa menghidupkan kesadaran membaca ini, maka bukan hanya pikiran kita yang akan dikuatkan, tetapi juga masa depan peradaban kita yang cita-citakan.