Kalau ada hal yang pasti dalam hidup, salah satunya adalah menunggu. Entah itu menunggu di antrean kasir minimarket, lampu merah, atau sekadar menunggu pesan WhatsApp yang entah kapan dibaca meski sudah centang biru.
Menunggu adalah bagian tak terelakkan dari rutinitas kita, penuh dengan jeda-jeda kecil yang sering kali diisi dengan rasa gelisah, sedikit frustrasi, dan kadang-kadang, rasa penasaran. Tapi, kalau dipikir-pikir lebih dalam, menunggu sebenarnya memberi kita ruang untuk merenung dan lebih bijak menghadapi hidup.
Lima menit menunggu di tengah kemacetan selalu terasa jauh lebih lama dibandingkan dengan lima menit yang terbang begitu saja saat kita asyik menonton film atau scrolling media sosial. Waktu seolah memperlakukan kita berbeda saat kita menunggu.
Rasanya menunggu itu membuat waktu melambat, memaksa kita sadar akan detik-detik yang berlalu dengan berat. Mengapa begitu? Karena di balik menunggu, sering kali ada harapan yang memicu rasa gelisah.
Kalaulah Descartes menyatakan “Cogito ergo sum” penulis mencoba memahami dalam kontek ini “Aku menunggu, maka aku ada”. Menunggu bukan sekadar soal waktu yang lewat, tapi soal harapan, keinginan, dan ekspektasi.
Saat kita menunggu sesuatu—sebuah tujuan, cita-cita, kabar baik, atau mungkin sekadar pesan WA berubah conterng biru—kita sebenarnya sedang mengalami hidup dalam bentuk paling dasar: mengantisipasi masa depan.
Bisa dikatakan bahwa menunggu adalah bukti bahwa kita masih punya harapan, masih punya alasan untuk bertahan. Aku menunggu, maka aku ada—karena menunggu menandakan kita masih punya sesuatu yang diinginkan, dicita-citakan, atau diharapkan terjadi.
Namun, aku ada— tak selalu indah dan mulus kenyataan. Di dalam menunggu, sering kali kita berada dalam situasi yang penuh penderitaan atau ketidakpastian. Pikirkan saja, saat menunggu hasil ujian, antrean panjang di bank, atau jawaban lamaran kerja yang seolah tak kunjung tiba dan sebaginya.
Dalam proses menunggu itulah, kita diuji. Ujian hidup sering kali datang bukan dalam bentuk tindakan heroik besar, tapi dalam momen-momen kecil yang menguji kesabaran kita. Karena itu, menunggu bisa menjadi ruang untuk belajar, untuk menghadapi ketidakpastian, dan bahkan, untuk berdamai dengan waktu yang terasa berjalan lambat.
Seperti menunggu pesan WhatsApp belum conterng biru, kita ada dalam ketidakpastian: apakah pesan itu dibaca atau tidak akan membawa kabar baik, kabar buruk, atau tidak ada kabar sama sekali. Mungkin terdengar sederhana, tapi dari situ kita belajar bagaimana mengelola ekspektasi.
Harapan bisa menjadi motivasi, tapi di sisi lain juga bisa membawa kita ke dalam penderitaan, terutama jika apa yang kita harapkan tak kunjung terwujud. Menunggu, pada akhirnya, adalah latihan menghadapi realitas.
“Aku Ada” dalam Proses Menunggu
Menunggu sebenarnya adalah proses yang mempersiapkan kita untuk apa yang akan datang, penerima. Seperti halnya antrean yang harus dilalui sebelum mendapatkan pelayanan, hidup pun serupa dengan proses menunggu yang panjang.
Bahkan, dalam lingkup yang lebih besar, menunggu adalah bagian dari eksistensi manusia. Kita menunggu jawaban dari pertanyaan besar dalam hidup, kita menunggu perubahan, kita menunggu kesempatan, dan kita menunggu untuk menemukan diri kita sendiri. Menunggu, bagaimanapun, adalah refleksi dari adanya keinginan dan tujuan.
Dan, ketika kita berbicara soal menunggu dalam konteks spiritual, menunggu juga bisa menjadi refleksi dari iman. Menunggu adalah salah satu cara kita menjalani ujian hidup. Sebagai seorang yang beriman, kita menunggu perjumpaan dengan Tuhan, suatu hari kelak. Maka, dalam setiap menunggu, ada proses pembelajaran dan ujian yang harus ditempuh untuk mempertahankan iman.
Pada akhirnya, menunggu adalah cara kita menjalani hidup—penuh dengan harapan, cita-cita, dan proses. Dalam perjalanannya, menunggu mengajarkan kita kesabaran, kebijaksanaan, dan kemampuan untuk berdamai dengan ketidakpastian.
Namun, yang paling penting, menunggu dalam kehidupan ini juga mengingatkan kita bahwa hidup itu sendiri adalah rangkaian ujian. Aku menunggu, maka aku ada—dengan ujian hidup, mempertahankan iman dalam perjalanannya sebagai cara untuk menunggu.
Kita menunggu sesuatu yang jauh lebih besar dari sekadar balasan pesan atau antrean panjang. Kita menunggu perjumpaan dengan Tuhan, dan di situlah letak keindahan dan kedalaman dari setiap tarikan waktu yang berjalan lambat.