Ah Teori, Eit Tunggu Dulu!

Posted on

Di sebuah organisasi yang tengah menghadapi tantangan besar, ada seorang pemimpin yang dikenal dengan semboyannya: “Kerja, kerja, kerja.” Setiap kali ada kritik atau pertanyaan dari bawahannya mengenai arah dan tujuan dari tugas-tugas yang diberikan, sang pemimpin selalu menjawab dengan kalimat itu. Namun, semakin sering ia mengulanginya, semakin banyak yang mulai meragukan kapabilitasnya.

Ketika para bawahan mencari penjelasan lebih lanjut tentang rencana strategis, teori yang mendasari, atau bahkan konsep praktis yang akan diimplementasikan, mereka hanya dihadapkan pada mantra “kerja, kerja, kerja.” Lambat laun, mereka mulai merasakan bahwa kalimat itu bukanlah ungkapan semangat, melainkan alibi untuk menutupi ketidaktahuan dan kekurangan sang pemimpin.

Seorang pemimpin sejati tidak hanya memerintah untuk bekerja; ia harus mampu menarasikan dengan baik apa yang dikerjakannya, menghubungkannya dengan teori dan wawasan keilmuan yang relevan. Dengan begitu, ia memberikan keyakinan kepada bawahannya bahwa setiap perintah yang dikeluarkan bukan sekadar instruksi kosong, melainkan bagian dari strategi yang dipahami dan direncanakan dengan matang. Narasi yang kuat dan berbasis teori akan mengubah “kerja, kerja, kerja” dari sekadar perintah menjadi seruan yang penuh makna dan inspirasi.

Setiap kali kita mendengar kata “teori,” sering kali yang muncul di benak banyak orang adalah sesuatu yang abstrak, jauh dari realitas, atau bahkan tidak relevan dengan kehidupan sehari-hari. “Ah teori!” adalah respons yang sering terdengar ketika seseorang merasa bahwa teori tidak ada gunanya dalam praktik.

Pada tataran kepemimpinan kerap juga ditemukan perilaku pemimpin yang memisahkan antara teori dan praktik ini. Namun, apakah benar demikian? Eit, tunggu dulu! Mari kita telaah lebih dalam sebelum kita sepenuhnya menolak teori.

Bukan Sekadar Abstraksi

Teori sering kali dipandang sebagai sesuatu yang terlalu rumit atau sulit untuk diterapkan. Hanya kata-kata yang terpenjara di ruang abstraksi, jikalau nampak hanya sebatas pernyataan bukan kenyataan konkrit. Padahal, teori sebenarnya merupakan hasil dari pengamatan, analisis, dan refleksi mendalam terhadap realitas.

Seorang ahli teori dan praktisi manajemen, Henry Mintzberg, menyatakan bahwa teori adalah cara kita memahami kompleksitas dunia dan memberikan panduan bagi tindakan kita. Dengan kata lain, teori adalah cetak biru yang memungkinkan kita untuk memahami dan mengelola situasi yang kompleks.

Dalam konteks kepemimpinan, teori menyediakan dasar bagi pemimpin untuk membuat keputusan yang bijaksana dan strategis. Tanpa teori, seorang pemimpin bisa saja terjebak dalam rutinitas tanpa arah, seperti yang terlihat pada awal tulisan ini.

Pemimpin yang hanya mengandalkan semboyan “kerja, kerja, kerja” tanpa landasan teori dan konsep yang jelas akan kehilangan kepercayaan dari bawahannya. Mereka akan terlihat seperti orang yang bekerja tanpa tujuan atau visi, padahal visi dan misi adalah esensi dari kepemimpinan itu sendiri.

Kesalahpahaman tentang Fungsi Teori

Salah satu alasan utama mengapa teori sering ditentang adalah karena kesalahpahaman mengenai fungsinya. Teori bukanlah aturan kaku yang harus diikuti tanpa pertanyaan. Sebaliknya, teori seharusnya diperlakukan sebagai kerangka kerja yang fleksibel, yang bisa disesuaikan dengan situasi dan konteks yang berbeda.

Sebagai contoh, teori dalam manajemen, seperti Teori X dan Teori Y dari Douglas McGregor, memberikan panduan umum tentang bagaimana mengelola karyawan, tetapi harus diterapkan dengan bijak sesuai dengan dinamika organisasi.

Namun, ketika pemimpin gagal memahami esensi teori dan mencoba menerapkannya secara kaku tanpa penyesuaian, hal itu bisa menjadi bumerang. Para bawahan mungkin merasa terkungkung oleh aturan yang tidak sesuai dengan realitas lapangan.

Dalam situasi ini, kritik terhadap teori muncul bukan karena teori itu salah, tetapi karena penerapannya yang tidak sesuai.

Tantangan dalam Menerapkan Teori

Banyak yang berpendapat bahwa teori tidak relevan karena sulit diterapkan dalam praktik. Namun, sering kali masalahnya bukan pada teorinya, melainkan pada kurangnya pemahaman dan keterampilan dalam mengimplementasikannya.

Menurut John Dewey, seorang filsuf pendidikan, “Teori tanpa praktik adalah kosong, dan praktik tanpa teori adalah buta.” Ini menunjukkan bahwa teori dan praktik seharusnya saling melengkapi, bukan dipertentangkan.

Pemimpin yang efektif memahami bahwa menerapkan teori dalam praktik membutuhkan adaptasi dan penyesuaian. Misalnya, dalam mengimplementasikan teori motivasi, seorang pemimpin harus mengenal baik karakternya, memahami kebutuhan, serta kondisi bawahan dan organisasi. Dengan demikian, teori tersebut bisa diterapkan dengan lebih efektif dan relevan.

Pengalaman Pribadi dan Relevansi Teori

Dalam banyak kasus, orang yang memiliki pengalaman praktis mungkin merasa bahwa teori tidak relevan karena pengalaman mereka berbeda dari apa yang dijelaskan oleh teori. Namun, ini sering kali terjadi karena interpretasi yang kurang tepat terhadap teori tersebut.

Teori yang baik, seperti yang diungkapkan oleh Kurt Lewin, “tidak ada yang lebih praktis daripada teori yang baik.” Artinya, teori yang benar-benar dipahami dan diterapkan dengan benar justru bisa memberikan solusi praktis yang efektif.

Dalam kepemimpinan, seorang pemimpin yang benar-benar menguasai teori akan mampu menarasikan pengalamannya dengan baik, mengaitkannya dengan konsep-konsep ilmiah yang relevan, dan memberikan panduan yang jelas kepada bawahannya. Ini adalah kunci untuk mengubah “kerja, kerja, kerja” menjadi gerakan yang bermakna dan berdampak.

Sinergi Teori dan Praktik

Pada akhirnya, pertentangan antara teori dan praktik sering kali muncul dari kurangnya pemahaman mendalam tentang teori itu sendiri, atau dari ketidakmampuan untuk menerapkannya dengan tepat.

Daripada mempertentangkan keduanya, kita seharusnya melihat teori sebagai alat yang membantu kita menjalani praktik dengan lebih bijak dan efektif. Seorang pemimpin yang baik tidak hanya memerintah, tetapi juga menarasikan visinya dengan jelas, didukung oleh teori dan konsep yang kuat.

Jadi, sebelum kita menolak teori dengan “Ah teori!“, mungkin ada baiknya kita berhenti sejenak dan berpikir, “Eit, tunggu dulu!” Sebab, di balik teori yang baik, terdapat panduan yang mampu membawa kita menuju praktik yang lebih bermakna dan sukses.

Visited 16 times, 1 visit(s) today
Semua memulai dari diri, maka kenali, perhatikan dan awasi namun jangan lupa terimalah dan sayangi ia apa adanya. Seorang Ambivert yang berangkat dari Introvert, Pemerhati Pendidikan dan Minat pada HR Management