Refleksi Sosialitas: Tadabur Al-Mulk Ayat Tiga Belas di Balik Kartu AS

Posted on

Dalam khazanah kehidupan sosial, manusia tak pernah benar-benar polos. Setiap relasi, betapapun tampaknya alami dan akrab, selalu menyimpan ruang-ruang tak terucapkan, space secrète: rahasia, aib, luka, dan kepercayaan.

Di awal kedermawanan, bisa berujung perhitungan, di balik keramahan bisa tersembunyi keangkuhan, di depan rupa kesetiaan, di belakang bisa terselip penghianatan. Sebuah fenomena sosialitas yang kerap menguji integritas setiap individu dengan menjadikan ‘kartu AS’–yakni pengetahuan atau bukti tersembunyi tentang kesalahan orang lain yang disimpan diam-diam untuk suatu saat dimanfaatkan–sebagai modal diam-diam.

Misalnya, dalam dinamika organisasi, seseorang menyimpan pesan pribadi atasan yang keliru untuk kelak digunakan sebagai alat tawar saat terjadi konflik atau perebutan posisi. Pengetahuan atas sisi gelap orang lain yang diam-diam disimpan, bukan untuk dijaga, tetapi untuk dijadikan senjata ketika dibutuhkan.

Inilah kenyataan sosialitas kita, relasi yang seharusnya menjadi ruang pertumbuhan bersama, justru menjadi ladang eksploitasi emosi. Menohok kawan seiring menggunting dalam lipatan, demikian pribahasa yang kerap menggambarkan paradoks sosial kehidupan.

Fenomena Kartu AS: Sekilas Tampak, Dalamnya Menikam

Kecenderungan menyimpan aib atau kelemahan orang lain sebagai ‘senjata cadangan’ adalah praktik sosial yang semakin lazim. Ia muncul dalam pertemanan, dalam keluarga, bahkan dalam organisasi dan dunia politik terlebih lagi.

Di dunia digital, kartu ini lebih mudah dimainkan. cukup satu tangkapan layar, satu rekaman suara, satu fragmen percakapan yang dipotong konteks, dan satu kemarahan yang tak tertahankan –maka kehancuran reputasi bisa segera dimulai. Terlalu banyak kasus menimpa tokoh publik figur dari permaian kartu AS ini, tak perlu kiranya untuk menyebutkan satu persatu namun cukuplah, sebagai contoh pelajaran.

Fenomena ini mengindikasikan krisis bukan hanya dalam akhlak, tetapi juga dalam fondasi teologis kehidupan sosial. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Al-Mawardi dalam karyanya Adab al-Dunya wa al-Din, stabilitas sosial hanya dapat dicapai melalui integritas moral yang bersumber dari kesadaran akan tanggung jawab spiritual. Tanpa kesadaran ini, relasi manusia mudah tergelincir menjadi ajang saling menundukkan, bukan saling menumbuhkan.

Baca :  Bagaimana Jika Kita Samina wa Tafakkarna Sebelum Samina wa Atho’na ?

Pemikir modern seperti Charles Taylor pun mengingatkan bahwa krisis identitas dan etika dalam masyarakat sekuler muncul karena kerapuhan nilai transenden yang menyatukan umat manusia dalam empati dan penghormatan secara mutualnya.

Sebab dalam pandangan tauhid, tidak ada yang benar-benar milik manusia. Segala sesuatu –termasuk pengetahuan atas rahasia orang lain– adalah titipan. Maka menyimpan aib orang lain sebagai alat tekan adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Allah.

Tauhid sebagai Dasar Etika Sosial

Allah berfirman dalam Surah Al-Mulk ayat 13: “وَاَسِرُّوْا قَوْلَكُمْ اَوِ اجْهَرُوْا بِهٖۗ اِنَّهٗ عَلِيْمٌ ۢ بِذَاتِ الصُّدُوْرِ”

“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sungguh, Dia Maha Mengetahui segala isi hati.”

Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada yang tersembunyi bagi Allah. Bahkan niat dan bisikan dalam dada pun tercatat. Maka dalam hubungan sosial, kita dituntut untuk bertindak tidak hanya berdasarkan norma sosial, tetapi dengan kesadaran akan pengawasan ilahi. Menjaga rahasia orang lain, dalam kerangka tauhid, bukan sekadar sikap etis melainkan pengakuan akan kehendak dan kuasa Allah atas manusia.

Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin mengingatkan bahwa keburukan yang kita lihat pada orang lain bisa jadi adalah pantulan dari keburukan dalam diri kita sendiri. Ia berkata, “Jangan kau tertipu oleh amalmu, karena bisa jadi orang yang kau hinakan hari ini lebih tinggi derajatnya di sisi Allah esok hari.”

Sementara Ibn Qayyim al-Jawziyyah menegaskan, bahwa menutupi aib orang lain adalah bagian dari kasih sayang Allah yang ditanamkan dalam hati hamba-Nya. Maka siapa yang terbiasa membuka aib orang, sesungguhnya sedang merusak sunnah Tuhan dalam menjaga martabat manusia.

Sosialitas Tanpa Keikhlasan: Dari Eksploitasi ke Alienasi

Dalam dunia modern, relasi antarmanusia semakin digerakkan oleh kalkulasi. Kawan menjadi mitra transaksional, bukan sahabat eksistensial. Dalam kerangka ini, menjaga rahasia bukan lagi tindakan etis, melainkan bagian dari negosiasi sosial. Aib disimpan bukan untuk dilupakan, melainkan untuk disiapkan sebagai amunisi pertahanan diri. Inilah yang disebut Zygmunt Bauman sebagai liquid relationships—hubungan yang cair, cepat, dan tidak tahan uji waktu.

Baca :  Ketaatan yang Tumbuh dari Kesadaran

Michel Foucault, filsuf pascamodern, menyoroti bagaimana kekuasaan modern beroperasi melalui pengetahuan dan pengawasan. Maka dalam konteks sosial, siapa yang menyimpan rahasia orang lain sebenarnya sedang menyimpan potensi kuasa. Dan kuasa, jika tidak disandarkan pada kesadaran moral yang kokoh, cenderung akan digunakan secara represif.

Kekuasaan semacam itu melahirkan tirani yang hanya mendatangkan kerusakan. Dalam dinamika sosial, terjadi upaya saling sandera dan jegal, menggunakan ‘kartu AS’ sebagai alat untuk menjatuhkan siapa saja yang dianggap mengancam posisi atau pengaruh sosialnya.

Namun dalam perspektif Islam, kekuasaan atas rahasia orang lain adalah amanah. Bahkan Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.” (HR. Muslim).

Menuju Sosialitas Tauhidi: Tulus, Amanah, dan Rendah Hati

Kesadaran tauhid mengajarkan bahwa kita tidak memiliki apa pun, bahkan diri kita sendiri. Maka ketika kita diberi pengetahuan atas kekurangan orang lain, yang pertama-tama harus kita lakukan adalah sujud syukur bahwa Allah masih menutupi aib kita sendiri. Dan jika suatu hari kita tergelincir lalu aib kita terkuak, siapa yang bisa menolong kita selain Allah?

Dalam dunia yang serba transparan ini, justru ketulusan menjadi barang langka. Media sosial memperkuat kecenderungan ini dengan mendorong manusia untuk membentuk citra, bukan menumbuhkan keaslian. Ketulusan tergantikan oleh performa, kejujuran digeser oleh kurasi.

Dalam suasana di mana segala hal bisa dibagikan, justru yang paling berharga–ketulusan–menjadi sulit ditemukan. Tapi bukan berarti mustahil. Kita bisa memulai dengan satu kesadaran sederhana: bahwa menjaga aib orang lain adalah cara kita menjaga wajah kita sendiri di hadapan Tuhan. Karena bisa jadi, aib yang kita sembunyikan jauh lebih memalukan daripada yang kita tahu dari orang lain.

Baca :  Bayang-Bayang Poligami Siri dalam Health Parenting dan Self-Parenthink

Kartu AS adalah metafora akan hilangnya kepercayaan dalam relasi manusia. Tapi lebih dari itu, ia adalah simbol krisis tauhid dalam laku sosial. Maka, mari kita berbenah. Membangun hubungan bukan atas dasar kontrol dan informasi tersembunyi, tapi atas dasar kasih-sayang, amanah, dan ketulusan yang berakar dari iman.

Sebab sejatinya, bukan kita yang menjaga rahasia orang lain. Tapi Allah-lah yang menjaga kita dari membuka apa yang seharusnya ditutupi. Mari kita insafi terus sabda Rasulullah SAW ini, “Barang siapa yang menutupi (aib) seorang Muslim, maka Allah akan menutupi (aib)nya di dunia dan di akhirat.” (HR. Muslim).

Dan Allah pun berfirman: “Sesungguhnya Allah selalu mengawasi kalian.” (QS. An-Nisâ’: 1). Maka, rasa malu dan kesadaran diawasi Allah adalah benteng utama dalam menjaga lisan dan niat dari merusak martabat orang lain.

Dan ketika kita sadar bahwa setiap relasi adalah ladang ujian, maka kita akan lebih hati-hati dalam berkata, lebih ikhlas dalam menjaga, dan lebih rendah hati dalam berjalan di tengah manusia. wallahu’alam

Visited 9 times, 1 visit(s) today
Avatar photo
Semua memulai dari diri, maka kenali, perhatikan dan awasi namun jangan lupa terimalah dan sayangi ia apa adanya. Seorang Ambivert yang berangkat dari Introvert, Pemerhati Pendidikan dan Minat pada HR Management

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *