Kita hidup di zaman serba cepat, di mana segala hal bisa terjadi dalam sekejap. Bahkan sebuah pesan WhatsApp yang dikirim hanya butuh sekian detik untuk sampai ke tujuan—ya, setidaknya kalau koneksi internetnya lancar.
Tapi, menariknya, di era modern yang powerfull teknologi ini, kita justru semakin diuji oleh hal-hal sederhana. Salah satunya, ceklis dua biru di WhatsApp. Siapa yang sangka, dua tanda kecil itu bisa membuat pikiran kita melayang ke segala arah, dari harapan hingga prasangka.
Kita kirim pesan, lalu dengan penuh harap menunggu tanda centang pertama, pertanda pesan terkirim. Ketika centang kedua muncul, perasaan lega sedikit datang, menandakan pesan sudah sampai. Tapi, di sini letak jebakannya. Jika centang biru tak kunjung muncul, mulai deh pikiran kita berjalan ke mana-mana. “Kenapa belum dibaca?”, “Apa dia sengaja mengabaikanku?”, atau “Jangan-jangan dia marah?”
Bayangkan, hanya dari sebuah centang, prasangka kita bisa langsung melonjak naik trend. Rasanya lucu kalau dipikirkan ulang—hanya karena ceklis biru tak muncul, hati kita dibuat was-was. Kadang, setelah ceklis biru muncul pun, kegelisahan tidak berhenti.
“Sudah dibaca, tapi kok belum dibalas?” Mungkin ia sibuk, mungkin ada hal lain yang lebih mendesak, tapi pikiran kita kerap bermain dengan prasangka, dan semakin kita mencari-cari alasan, semakin terjeratlah kita.
Itu belum termasuk yang lebih “cerdas” dalam menggunakan teknologi. Ada orang yang sengaja mematikan tanda centang birunya, sehingga kita tidak tahu apakah pesan kita sudah dibaca atau belum. Dan di sini, tingkat ujian prasangka kita semakin tinggi. Kita dihadapkan pada teka-teki digital: apakah dia sudah membaca pesannya? Mengapa tidak ada balasan? Apakah aku salah bicara?
Fenomena sederhana ini sebenarnya mencerminkan bagaimana kita berinteraksi dalam kehidupan sosial. Kita sering kali berprasangka atau mencurigai niat orang lain, bahkan dalam hal-hal yang seharusnya tidak perlu terlalu dipikirkan.
Sebuah pemberian kebaikan pun bisa kita curigai sebagai modus, seperti pesan yang tak kunjung dibalas kita anggap sebagai tanda ketidakpedulian. Padahal, bisa jadi kita yang terlalu cepat menilai. Semakin kita mencari “modus” di balik tindakan orang lain, semakin kita terperangkap dalam persepsi kita sendiri.
Dalam Islam, kita diajarkan untuk senantiasa berbaik sangka—baik kepada Allah maupun sesama manusia. Berbaik sangka atau husnuzan adalah tameng dari jeratan prasangka buruk yang sering kali menyesatkan.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an, Surah Al-Hujurat (49:12): “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa”. Karena prasangka, kita cenderung menilai segala sesuatu berdasarkan pikiran negatif yang kita ciptakan sendiri, dan itu menambah beban mental yang tak perlu.
Seperti halnya saat kita menunggu balasan pesan, ada baiknya kita menanamkan keyakinan bahwa apa pun yang terjadi adalah bagian dari rencana Allah yang lebih besar. Allah adalah sebaik-baik perencana, dan terkadang, apa yang kita anggap sebagai kelambatan atau pengabaian justru bisa menjadi jalan bagi kebaikan yang tak kita duga-duga.
Ketika ada seseorang yang memberi kita sesuatu, entah itu kebaikan atau bantuan, biarlah kita menerima dengan lapang hati. Jika di balik itu ada niat tertentu, biarlah itu urusannya. Pada akhirnya, semua kembali kepada Allah, yang mengatur segalanya dengan hikmah.
Jika kita merasa terbebani oleh pikiran dan prasangka hanya karena sebuah centang, ingatlah bahwa kehidupan jauh lebih luas dari itu. Setiap interaksi yang kita alami, setiap pesan yang kita kirimkan—baik yang cepat dibalas maupun yang tertunda—adalah bagian dari perjalanan kita dalam memahami diri dan orang lain. Dan dalam setiap jeda yang diberikan, ada ruang bagi kita untuk bersabar, berbaik sangka, dan memahami bahwa hidup ini tidak selalu berjalan sesuai rencana kita, tapi selalu sesuai rencana-Nya.
Sebagai orang beriman, kita sadari tak lepas dalam ujian selang menunggu pada sebuah pertemuan besar—perjumpaan dengan Tuhan. Selama proses menunggu ini, kehidupan kita dipenuhi dengan ujian-ujian kecil yang mengajarkan kita tentang harapan, kesabaran, dan kepercayaan.
Apakah ceklis biru itu muncul atau tidak, anggap saja sebagai latihan dalam menunggu dengan iman. Karena pada akhirnya, yang kita tunggu adalah pertemuan yang paling sempurna, dengan-Nya.