Manusia adalah makhluk yang kaya akan emosi. Sejak zaman dahulu, para pemikir dan filsuf telah memperdebatkan peran emosi dalam kehidupan, termasuk bagaimana emosi dapat dikelola dalam hubungan sosial.
Aristoteles, salah satu pemikir klasik yang paling berpengaruh, mengemukakan dalam karyanya Nicomachean Ethics bahwa kebajikan terletak pada keseimbangan, termasuk dalam hal emosi. Menurut Aristoteles, kita harus mengetahui kapan dan bagaimana mengungkapkan emosi dengan cara yang tepat.
Lain, Immanuel Kant, memandang emosi dengan lebih kritis, bahwa tindakan moral yang benar harus didasarkan pada rasionalitas, bukan emosi. Dalam konteks ini, muncul sebuah pertanyaan penting: bagaimana kita menyikapi perasaan dan emosi yang sering kali tampak tidak rasional, terutama dalam hubungan antarindividu?
Kita sering mendengar ungkapan-ungkapan seperti “jadi orang jangan baperan” atau “jadilah orang yang mengerti, jangan hanya ingin dimengerti.” Ungkapan-ungkapan ini mencerminkan pandangan yang rasional terhadap hubungan manusia, tetapi juga sering kali menimbulkan ketidaknyamanan.
Mengapa demikian? Karena larangan terhadap perasaan seperti “jangan baperan” atau nasihat untuk “selalu mengerti” dapat dengan mudah mengabaikan aspek mendalam dari emosi manusia yang sifatnya subjektif dan kompleks.
Larangan terhadap emosi –penulis mencoba memaparkan, bukan hanya sulit diterima oleh siapa pun, tetapi juga berpotensi merusak hubungan sosial.
Sebuah Tantangan Bagi Rasionalitas
Emosi adalah bagian tak terpisahkan dari pengalaman manusia. Dalam bukunya The Social Animal, Elliot Aronson menjelaskan bagaimana manusia sangat bergantung pada emosi dalam interaksi sosial.
Meskipun kita sering kali ingin bertindak rasional, emosi memainkan peran besar dalam cara kita merespons situasi dan orang lain. Ini sebabnya larangan terhadap emosi, seperti “jangan baperan,” sering kali tidak efektif dan menimbulkan resistensi.
Mengapa emosi sulit diatur melalui larangan? Karena emosi adalah sesuatu yang kita alami secara spontan. Saat kita menghadapi situasi yang memicu perasaan, respons emosional datang sebelum kita bisa memikirkannya dengan rasional.
Maka, larangan terhadap perasaan seperti baper bukan hanya tidak praktis, tetapi juga bisa menimbulkan kebingungan dan ketidaknyamanan bagi individu yang diminta untuk menekan perasaan mereka.
Fokus Hubungan Harmonis
Dalam setiap hubungan, baik personal maupun profesional, salah satu kunci utama yang sering terlupakan adalah kemampuan mengelola emosi. Emosi adalah energi yang alami dan gratis, namun jika disalurkan dengan cara yang salah, dampaknya bisa sangat merugikan.
Seperti kutipan yang tertulis, “Emosi itu gratis, salah menyalurkan ada harga yang dibayar.” Ketika kita gagal menyalurkan emosi dengan bijak, harga yang harus dibayar adalah ketidakharmonisan dan keretakan dalam hubungan.
Dalam kehidupan sehari-hari, larangan-larangan yang ditujukan pada aspek perasaan seperti “jangan baper” atau “jangan mudah tersinggung” sering kali malah membuat individu yang mendengarnya merasa terpojok dan sulit untuk menyesuaikan diri.
Emosi, terutama yang berkaitan dengan rasa, adalah sesuatu yang alami dan tidak mudah untuk dikendalikan hanya dengan larangan.
Psikolog humanis seperti Carl Rogers menekankan pentingnya penerimaan dan empati dalam interaksi manusia. Kita harus lebih fokus pada pemahaman perasaan orang lain daripada sekadar melarang mereka merasakan sesuatu.
Dalam Islam, konsep sabar memiliki kedudukan yang tinggi sebagai salah satu bentuk pengendalian diri yang paling mulia. Sabar bukan hanya sekadar menahan emosi, tetapi juga menyalurkannya secara tepat dan bijaksana.
Dalam Al-Quran, Allah berfirman, “….sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah: 153).
Pengendalian emosi dengan kesabaran adalah bentuk implementasi ajaran ini dalam membangun hubungan yang lebih harmonis, baik dengan sesama manusia maupun dengan Sang Pencipta..
Mengganti Larangan dengan Pengarahan Positif
Alih-alih menggunakan larangan seperti “jangan baperan,” mungkin lebih baik jika kita mengarahkan orang untuk mengenali dan mengelola emosi mereka. Sebagai contoh, nasihat seperti “coba pikirkan kembali perasaanmu, apa yang membuatmu merasa seperti itu?” akan jauh lebih efektif dalam membantu seseorang memahami emosi mereka dan bertindak lebih rasional.
Daniel Goleman, dalam bukunya Emotional Intelligence, menjelaskan bahwa kemampuan untuk mengenali dan mengelola emosi adalah kunci keberhasilan dalam hubungan pribadi dan profesional.
Dalam hubungan yang harmonis, penting untuk menciptakan ruang di mana kedua belah pihak dapat mengekspresikan perasaannya dengan jujur, tanpa rasa takut dihakimi atau dilarang.
Hubungan yang sehat adalah hubungan yang memungkinkan dialog terbuka tentang perasaan, baik perasaan positif maupun negatif.
Dengan demikian, alih-alih melarang perasaan, kita harus belajar untuk mendukung orang lain dalam memahami dan mengelola emosinya.
Islam dan Keseimbangan Emosi
Islam memberikan panduan yang jelas tentang pentingnya menjaga keseimbangan emosi dalam kehidupan sehari-hari. Al-Qur’an menyebutkan dalam Surat Ali-Imran ayat 159:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu.”
Ayat ini menekankan pentingnya kelembutan dan kesabaran dalam berinteraksi dengan orang lain. Emosi yang dikelola dengan baik adalah kunci untuk menjaga hubungan yang harmonis dan saling menghormati.
Larangan terhadap perasaan atau emosi yang sering kali diucapkan dengan maksud baik harus disampaikan dengan cara yang lebih empatik dan konstruktif. Ali bin Abi Thalib pernah mengatakan, “Kemarahan dimulai dengan kegilaan dan berakhir dengan penyesalan.”
Hal ini mengingatkan kita bahwa emosi yang tidak terkendali memang bisa merusak, tetapi cara terbaik untuk mengatasinya bukan dengan melarangnya, melainkan dengan memahami dan mengelolanya secara bijaksana.
Penulis mencoba menggarisbawahi bahwa larangan terhadap perasaan, seperti “jangan baperan,” tidak efektif dan sering kali kontraproduktif dalam hubungan manusia. Mengelola emosi dengan baik, adalah kunci untuk menciptakan hubungan yang harmonis.
Pendekatan yang lebih empatik, yang berfokus pada pemahaman dan pengarahan positif, jauh lebih produktif daripada sekadar memberikan larangan. Seperti yang diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW, kelembutan dan pengertian adalah kunci dalam berinteraksi dengan orang lain, dan ini berlaku baik dalam hubungan personal maupun sosial.
“Sesungguhnya kelembutan tidaklah diberikan pada segala urusan melainkan akan menghiasinya, dan tidaklah kelembutan ditarik dari tiap urusan kecuali akan menjadikannya buruk“. (HR Muslim)
Hadirkan kelembutan bisa mengganti larangan dengan empati dan komunikasi terbuka, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih mendukung dan harmonis, di mana perasaan tidak perlu dilarang, tetapi bisa dipahami dan dikelola dengan bijaksana.