Di era digital saat ini, di mana informasi mengalir dengan cepat dan komunikasi terjadi dalam sekejap, kita dihadapkan pada tantangan baru dalam memahami hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Kesadaran akan Tuhan menjadi sangat penting untuk menjaga moralitas dan etika, terutama di tengah maraknya materialisme dan egoisme yang mendominasi kehidupan modern.
Dalam konteks ini, tindakan-tindakan di dunia maya, seperti fenomena anonim di media sosial, dapat mencerminkan kurangnya kesadaran akan tanggung jawab dan akuntabilitas.
Contoh nyata dari fenomena ini terlihat dalam kasus akun fufufafa di Kaskus, yang mengundang kontroversi dan perdebatan luas. Berdasar catatan di wikipedia Akun ini, diduga dimiliki oleh Gibran Rakabuming Raka, telah melontarkan berbagai komentar ofensif dan rasis terhadap banyak tokoh publik dan kelompok masyarakat.
Melalui akun anonim, pelaku merasa terlindungi dari konsekuensi tindakan mereka, seolah tidak ada pertanggungjawaban moral yang harus dipikul. Dalam situasi ini, individu dapat dengan mudah menyerang, merendahkan, dan mencemarkan nama baik tanpa merasa takut akan dampaknya.
Lempar Batu Sembunyi Tangan
Fenomena “lempar batu sembunyi tangan” ini tidak hanya mencerminkan sikap irresponsibilitas, tetapi juga mengungkapkan masalah yang lebih dalam—kurangnya kesadaran akan kehadiran Tuhan dalam kehidupan sehari-hari. Lupa atau khilaf memang lekat dengan tabiat manusia karena itu semakin penting kesadaran akan Tuhan sebagai pengingat mengontrol khilaf yang liar.
Ketika individu menganggap bahwa tindakan mereka tidak terpantau oleh Tuhan, mereka merasa bebas untuk berbuat sesuka hati. Hal ini sejalan dengan pengamatan (alm) Rizal Ramli dalam setiap kesempatannya yang mengingatkan tentang pentingnya moral dan etika dalam berinteraksi, baik di dunia nyata maupun maya. Pribadi yang memiliki kesadaran akan Tuhan adalah pribadi yang memilki ikatan moral dan etika yang kuat.
Surat Al-Mulk:13 menyoroti bahwa Allah mengetahui segala yang tersembunyi dan kasat mata. Allah berfirman, “Dan sembunyikanlah perkataanmu atau nyatakanlah. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui apa yang ada di dalam hati.” Ayat ini mengingatkan kita bahwa tidak ada tindakan yang luput dari pengawasan-Nya. Dalam konteks dunia maya, kesadaran akan Tuhan seharusnya menginspirasi kita untuk berpikir dua kali sebelum berkomentar atau berperilaku secara negatif, terutama ketika menggunakan identitas anonim.
Keterasingan dalam Era Digital
Keterasingan yang dialami oleh banyak orang di era media sosial memperburuk situasi ini. Akun-akun anonim memberikan keleluasaan untuk berperilaku tanpa konsekuensi, menciptakan lingkungan di mana kebencian dan penyerangan menjadi hal yang biasa.
Nietzsche, dalam kritiknya terhadap moralitas tradisional, menyatakan bahwa hilangnya keyakinan akan Tuhan membawa masyarakat pada nihilisme, di mana nilai-nilai moral menjadi kabur. Dalam banyak hal, fenomena ini sejalan dengan apa yang kita lihat di dunia maya saat ini—di mana kebebasan berbicara sering kali disalahgunakan untuk menyebarkan kebencian dan diskriminasi.
Sikap skeptis ini juga terlihat dalam interaksi sosial politik, di mana akun anonim sering digunakan untuk menyerang lawan politik dengan cara yang keji dan tidak bertanggung jawab. Kasus fufufafa mencerminkan bagaimana kebencian dapat terakumulasi dan meledak tanpa rasa takut akan pertanggungjawaban. Ketika individu tidak merasa terikat pada moralitas yang lebih tinggi, mereka dapat berperilaku sembarangan, mengakibatkan kerusakan yang lebih luas pada tatanan sosial.
Kesadaran Bertuhan sebagai Solusi
Undang-undang, aturan dan kebijakan dimana negara mencoba hadir meretas masalah sosial ini, apakah ikhtiar negara itu ditambah, dipertajam namun kasus demi kasus seolah menunjukan perlawannanya, makin marak kepermukaan. Perlu ada solusi, terutama membangun kesadaran diri yang asasi, kesadaran akan Tuhan.
Di sinilah pentingnya kesadaran bertuhan untuk memulihkan moralitas dalam interaksi sosial. Ketika kita menyadari bahwa tindakan kita memiliki konsekuensi tidak hanya di dunia ini, tetapi juga di hadapan Tuhan, kita cenderung bertindak dengan lebih hati-hati dan penuh tanggung jawab. Kesadaran ini mendorong kita untuk saling menghormati dan memperlakukan orang lain dengan baik, terlepas dari perbedaan pendapat atau pandangan.
Kita perlu mengingat kembali makna dari Surat Al-‘Alaq, di mana Allah memperkenalkan diri-Nya sebagai Pencipta yang menciptakan manusia dari segumpal darah. Mengingat siapa kita di hadapan Tuhan dari mana kita dicipta, seharusnya membimbing kita untuk berperilaku dengan integritas dan rasa hormat terhadap sesama. Dengan cara ini, kita bisa membangun kembali kepercayaan dan hubungan yang lebih baik di masyarakat.
Kesadaran akan Tuhan adalah kunci untuk menciptakan kehidupan sosial yang harmonis dan bertanggung jawab. Dalam dunia yang dipenuhi dengan kepentingan pribadi dan materialisme, kita harus ingat bahwa tindakan kita di dunia maya dan nyata memiliki dampak yang lebih besar. Ketika kita memahami bahwa Tuhan selalu mengawasi, kita akan lebih cenderung untuk berperilaku dengan baik dan menjaga hubungan yang positif dengan orang lain.
Dalam era di mana anonimitas sering disalahgunakan, mengingat kehadiran Tuhan dalam setiap tindakan kita adalah langkah penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih baik dan lebih adil bagi semua. Jika negara kita berketuhanan yang maha esa dan Tuhan kita adalah Allah mari kita renungi ayat 13 dari Al-Mulk diatas, mudah bagi Allah untuk membuka apa yang menurut kita rahasia. Saat ini menimpa fufufafa, siapa esok yang teperosok? maka kita jaga kata-kata, pikiran, sikap dan perilaku kita.
Terakhir kita perlu merenungkan kembali pertanyaan penting: Masih butuhkah kita kepada Tuhan? Jawabannya jelas; kesadaran akan Tuhan yang benar mestinya membawa kita menuju kehidupan yang lebih bermakna, di mana kita saling mendukung dan membangun masyarakat yang lebih baik.