Poligami, khususnya yang dijalankan secara siri (tidak tercatat secara hukum negara), telah menjadi praktik yang kerap menimbulkan dilema dalam konteks sosial dan pengasuhan anak. Meskipun secara syariat praktik ini dibolehkan, dalam kenyataannya, poligami siri kerap dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tanpa kesiapan emosional serta logistik yang memadai. Hal ini menyebabkan ketidakharmonisan dalam keluarga dan memunculkan persoalan serius dalam pola pengasuhan anak yang adil dan sehat.
Poligami, sebagai sebuah bentuk pernikahan yang diakui dalam Islam, kerap menimbulkan dilema dalam praktik sosial dan pengasuhan anak. Kendati hukum agama memberi ruang untuk praktik poligami, realitas pelaksanaannya sering kali jauh dari nilai-nilai keadilan, keterbukaan, dan tanggung jawab kolektif dalam membesarkan anak. Akibatnya, banyak keluarga mengalami ketidakharmonisan, yang berdampak langsung pada kestabilan emosional dan pendidikan anak.
Sebagai pemerhati pendidikan, penulis menghadirkan dua konsep reflektif: health parenting dan self-parenthink, sebagai cara untuk menimbang ulang bukan hanya bagaimana praktik poligami dijalankan, tetapi juga bagaimana orang tua — terutama ayah — menempatkan perannya dalam proyek pengasuhan jangka panjang.
Konsep health parenting merujuk pada pendekatan pengasuhan yang menyeluruh, memperhatikan keseimbangan antara kebutuhan emosional, fisik, dan mental anak dalam lingkungan keluarga yang stabil, terbuka, dan suportif. Ini adalah bentuk pengasuhan yang tidak hanya mengandalkan kehadiran fisik orang tua, tetapi juga keterlibatan aktif dalam dinamika emosional dan sosial anak.
Sementara itu, istilah self-parenthink merupakan gabungan dari kata “self”, “parenting”, dan “think” — yang penulis tawarkan sebagai kerangka reflektif bagi orang tua, terutama ayah, untuk mengevaluasi kesiapan dirinya dalam menjalani pengasuhan. Ia mencakup kesadaran diri, pengenalan peran emosional sebagai orang tua, serta pemikiran strategis tentang masa depan anak. Dengan demikian, self-parenthink adalah sebuah ajakan untuk berpikir mendalam sebelum mengambil keputusan yang berdampak langsung pada struktur keluarga dan nasib anak-anak.
Tidak jarang, poligami menjadi ruang yang memunculkan kenekatan emosional alih-alih kebijaksanaan strategis. Bahkan dalam bentuk pernikahan monogami sekalipun, beban pengasuhan anak secara struktural masih lebih banyak ditanggung oleh perempuan.
Dengan demikian, isu utama yang perlu dikaji bukan sekadar struktur pernikahan, tetapi bagaimana pola pikir dan refleksi orang tua — terutama ayah — terhadap pengasuhan jangka panjang. Melalui dua konsep ini, pembaca diundang untuk melihat bahwa akar persoalan sering kali bukan pada bentuk pernikahan, melainkan pada absennya refleksi dan perencanaan matang dalam menjalankan peran sebagai orang tua.
Poligami Menguji Legalitas dalam Kebijaksanaan
Dalam perspektif fikih, poligami adalah praktik yang disahkan syariat. Surat An-Nisa ayat 3 menegaskan:
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja…”
Ayat tersebut mengisyaratkan bahwa keadilan adalah syarat fundamental dalam poligami. Namun, keadilan bukan sekadar soal distribusi materi, tetapi juga menyangkut aspek emosional, kejujuran, dan keberanian untuk terbuka.
Dalam praktiknya, banyak poligami dijalankan secara siri — tanpa pencatatan resmi dan tanpa keterbukaan kepada pihak pertama — sehingga muncul asimetri informasi yang merusak kepercayaan dan hubungan antar anggota keluarga.
Dari sisi psikologi keluarga, keterbukaan adalah aspek penting dalam pembentukan iklim psikososial yang sehat. Erikson (1963) dalam teori tahap perkembangan psikososial menyatakan bahwa masa anak-anak awal sangat ditentukan oleh rasa percaya (trust) yang dibangun melalui konsistensi dan kejujuran orang tua. Poligami yang dijalankan dengan menutupi kebenaran dari anak-anak dan istri pertama justru menjadi benih distrust, yang dapat menular pada pola pikir dan perilaku anak dalam interaksi sosialnya.
Health Parenting: Pengasuhan Sehat dalam Bayang-Bayang Konflik
Konsep health parenting mengacu pada model pengasuhan yang memperhatikan kebutuhan emosional, sosial, dan kognitif anak secara seimbang dalam lingkungan keluarga yang stabil. Dalam keluarga poligami yang tidak tertata baik, health parenting menjadi tantangan besar karena konflik antara istri dan suami — bahkan antar anak dari dan istri berbeda — kerap tidak terhindarkan.
Penelitian oleh Al-Krenawi (2012) menunjukkan bahwa anak-anak dalam keluarga poligami mengalami tingkat kecemasan, kecemburuan, dan ketidakstabilan lebih tinggi dibanding anak-anak dalam keluarga monogami. Tidak hanya itu, ketidakharmonisan antara istri-istri atau ketidakhadiran ayah dalam pengasuhan sering menyebabkan maternal overburden — di mana ibu pertama atau kedua harus menanggung beban ganda sebagai pengasuh dan pelindung psikologis anak, yang berujung pada ketidaksiapan menerima pengasuhan dan anak menjadi korban. Dalam penelitian Hikmah (2012) menegaskan bahwa pernikahan poligami dapat memunculkan permusuhan diantara keluarga para istri dan anak dalam keluarga.
Ketika pengasuhan tetap harus berjalan di tengah kondisi tidak ideal tersebut, muncul kelelahan, fragmentasi peran, dan potensi perlakuan berbeda antar anak. Hal ini semakin diperparah ketika salah satu istri menggugat cerai dan suami harus memilih mempertahankan salah satu keluarga.
Tak sedikik kasus anak dari istri yang dicerai sering kali menjadi korban salah asuh, baik karena keterbatasan akses ayah maupun adanya perlakuan berbeda yang dirasakan anak terhadap keluarga yang tetap dipertahankan. Situasi ini menimbulkan luka psikologis jangka panjang dan berdampak buruk pada perkembangan identitas dan masa depan anak.
Ironisnya, fenomena ini juga terjadi dalam keluarga monogami. Banyak ayah yang secara struktural dan kultural menyerahkan seluruh tanggung jawab pengasuhan pada istri, seolah anak hanya “tanggung jawab ibu”. Dalam konteks ini, baik poligami maupun monogami menunjukkan gejala absennya perencanaan parenting yang sistematis dan partisipatif.
Self-Parenthink: Refleksi Ayah dalam Proyek Pengasuhan
Penulis menawarkan istilah self-parenthink sebagai pendekatan reflektif bagi orang tua — khususnya ayah — dalam mengevaluasi kesiapannya secara emosional, moral, dan logistik sebelum memutuskan untuk berpoligami. Apakah ia memiliki rencana jangka panjang dalam pendidikan anak-anaknya? Apakah ia siap hadir secara psikologis dan bukan sekadar finansial? Apakah ia memahami bahwa ayah bukan hanya pemimpin keluarga, tetapi juga model kepribadian utama bagi anak laki-laki maupun perempuan?
Self-parenthink juga menantang paradigma relasi gender dalam pengasuhan: mengapa pengasuhan anak hanya dilihat sebagai domain ibu? Jika seorang laki-laki tidak mampu membagi waktu, kasih sayang, dan keterlibatan aktif dalam satu rumah tangga, bagaimana ia bisa melakukannya dalam dua atau lebih?
Gambaran ideal ayah dalam Islam adalah seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW: lembut, hadir, dan terlibat dalam urusan anak. Seorang ayah yang reflektif tidak akan sekadar menggunakan legitimasi syariat sebagai pembenaran untuk berpoligami, tetapi menjadikannya sebagai tantangan spiritual dan sosial untuk lebih bertanggung jawab dan bijaksana.
Poligami adalah sesuatu yang legal dalam Islam, namun kebijaksanaan dalam menjalankannya tidak datang begitu saja dengan legalitas. Dibutuhkan keterbukaan, perencanaan, dan tanggung jawab kolektif dalam pengasuhan anak. Tanpa ini, poligami hanya akan menjadi kenekatan emosional yang mengorbankan generasi baru.
Refleksi melalui health parenting dan self-parenthink membuka jalan untuk melihat bahwa masalah sebenarnya bukan pada bentuk pernikahannya, tetapi pada tantangan kematangan peran ayah dalam proyek pengasuhan jangka panjang. Dan di tengah krisis keluarga yang makin kompleks, hal paling penting bukan sekadar siapa yang sah, tapi siapa yang benar-benar hadir membersamai pengasuhan anak dalam suasana hangat, sehat, adil dan penuh pengajaran adab.