“قُمْ فَأَنذِرْ وَرَبَّكَ فَكَبِّرْ”
Bangkitlah, lalu berilah peringatan, dan agungkanlah Tuhanmu!
Ayat ini tidak hanya menjadi panggilan kenabian, tetapi juga seruan abadi kepada para guru: bangkit, mengajar, dan memuliakan tugas dengan penuh ketakwaan.
Di Hari Kebangkitan Nasional -berdasar catatan sejarah- kita biasa memperingatinya setiap 20 Mei, marilah kita renungkan untuk kemudian bangkit mengambil spirit di tengah arus zaman yang cepat dan kompetitif, masihkah pendidikan kita berpijak pada nilai ketakwaan? sebagaimana terkandung dalam tujuan pendidikan nasional satu pijakan dan arah yang jelas dalam mencerdsakan kehidupan bangsa.
Menjadi guru adalah tantangan dan peluang. Tantangan karena tanggung jawabnya tidaklah ringan, peluang karena peran ini memberi ruang untuk ‘mendidik’ manusia bukan hanya menjadi pintar, tetapi menjadi benar secara nilai-nilai etika dan moral.
Karenanya guru tidak boleh asal mengajar, ia mesti berbekal ilmu dan terlebih lagi ketakwaan. Seperti firman Allah: “وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى….” Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.
Dalam pandangan ini, ketakwaan bukan sekadar kualitas spiritual, tetapi fondasi pendidikan sejati. Ia membimbing guru dalam bersikap, berbicara, dan menanamkan nilai.
Seorang guru bertakwa tidak hanya mengajarkan isi buku, tetapi juga isi budi dan tak lupa isi hati dimana nilai kehidupan disemai. Dalam konteks ini, Al-Ghazali pernah berkata, “Tujuan akhir dari pendidikan adalah mencetak manusia yang tidak hanya cerdas, tapi juga bermoral.”
Pendidikan yang berorientasi takwa adalah pendidikan yang memanusiakan manusia. Guru adalah wakil Tuhan dalam proses pengajaran. Sebagaimana Allah mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya “عَلَّمَ الإِنسَانَ مَا لَمْ يَعْلَمْ”, demikian pula guru menyampaikan ilmu sebagai bentuk ibadah. Maka guru bukan sekadar pekerja kurikulum, ia adalah penyambung cahaya kenabian.
Buya Hamka pernah berkata, “Ilmu yang tidak disertai iman dan akhlak, akan menjadikan manusia sombong. Ilmu yang sejati, ialah yang dapat membawa manusia kepada kebenaran dan keinsafan.”
Maka, terang sekali bahwa pendidikan harus berpijak pada iman. Guru bertakwa akan mengarahkan murid tidak hanya meraih angka, tetapi menyelami setiap nilai dengan makna. Ia teladan di hadapan, penggerak dalam pusaran dan mendorong nilai-nilai kehidupan yang membangkitkan para murid dari segala kelemahan-intelektual, moral dan spiritual.
Dalam bingkai takwa pula, hubungan guru dan murid menjadi hubungan spiritual. Guru mengasihi karena amanah ilahi, murid menghormati karena perintah Ilahi. Indah kiranya pendidikan yang mengasaskan dirinya pada Tauhid. Ia menggugah rasa dari kehampaan makna, menjaga nalar dari sesatnya pikiran. Sebuah perjumpaan yang indah, bertemu berpisah dalam mendidik diri berserah karena lilah.
Sementara itu Tan Malaka berkata, “Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.” Maka tidak ada tempat bagi kekerasan, tidak ada ruang untuk ketimpangan. Yang ada adalah kasih sayang, tanggung jawab, dan harapan akan ridha Tuhan.
Sayangnya, pendidikan kita sering terjebak dalam ambisi duniawi. Ranking, nilai, dan prestasi menjadi tolok ukur tunggal. Mari bangkit dari segala pencapaian semu dengan menghadirkan makna seiring raihan dalam pendidikan.
Padahal, seperti kata Albert Einstein, “Ilmu tanpa agama adalah buta. Agama tanpa ilmu adalah lumpuh.” Pendidikan berbasis takwa justru tidak menolak prestasi duniawi, tapi menjadikannya sarana menuju prestasi ukhrawi. Takwa menjadikan prestasi lebih memberi arti dan makna bagi sesama dan bagi semesta.
Hari Kebangkitan Nasional harus menjadi momen reflektif untuk kembali kepada akar pendidikan: membentuk manusia bertakwa. Karena hanya dengan takwa, guru menjadi mulia, murid menjadi bijak, dan bangsa menjadi kuat.
Semangat guruku! Engkau bukan hanya penyampai materi, tapi penuntun nurani. Dalam kelas kecilmu, tersimpan benih-benih kebangkitan bangsa. Maka bangkitlah, karena engkau bagian dari cahaya Tuhan yang menyinari zaman.