Bagaimana kedewasaan sosial dibentuk oleh kesadaran diri, pemahaman batin orang lain, dan nilai-nilai spiritual dalam Islam.
Pagi ini Ahad 25 Mei 2025, berteman segelas kopi sembari mencari kabar dalam gengaman. Membuka status WhatsApp nampak sebuah status menginspirasi dari guru penulis, Ustadz Endang Abdurrahman, menyapa dengan kutipan yang dalam dari Najib Mahfudz:
“Suatu hari nanti, kamu akan menyadari bahwa perilaku orang lain lebih banyak terkait dengan pergolakan batin mereka, daripada berkaitan dengan dirimu.”
Status singkat itu menjadi pemantik renungan panjang tentang relasi antar manusia. Bahwa sering kali, yang tampak di permukaan tidak selalu mencerminkan yang sebenarnya terjadi dalam jiwa seseorang. Dan bahwa sikap orang lain tidak selalu harus kita tanggapi secara personal. Dari sanalah refleksi ini tumbuh dan dituliskan.
Sastrawan Mesir peraih Nobel, Najib Mahfudz, benar adanya. Kita tidak harus selalu mengambil sikap orang lain secara pribadi. Kedewasaan dalam interaksi sosial justru terletak pada kemampuan kita memahami konteks batin orang lain, sembari tetap menjaga keseimbangan diri sendiri.
Dalam Islam, kesadaran ini selaras dengan prinsip husnuzhan (berprasangka baik) dan tadabbur (merenungi realitas secara mendalam). Allah berfirman:
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak dari prasangka, karena sebagian dari prasangka itu dosa…” (QS. Al-Hujurat: 12)
Prasangka yang tidak pada tempatnya bisa mengaburkan kejernihan hati. Dengan memahami bahwa sikap orang lain bisa jadi lahir dari luka atau keresahan batinnya, sehingga kita terhindar dari prasangka negatif dan bisa merespons dengan lebih tenang dan bijak.
Bisa jadi perlakuan seseorang yang dalam permukaan nampak menyinggung hingga menyakitkan diri kita adalah notifikasi panggilan diri untuk membantunya. Meberikan perhatian, berempati, memaafkan dan berbagai sikap serta respon positif kita lainnya.
Ujian emosi kerap hadir, mengukur seberapa kuat diri pada setiap interaksi sosialnya, maka tetap jernih berpikir, bersih hati dari prasangka adalah kunci bagi diri untuk semakin dewasa, semakin bijaksana.
Namun perlakuan itu keterlaluan melampaui batas dan seterusnya, yakinlah tetap dalam kendali emosi adalah pilihan terbaik, seperti kata Nietzsche selagi itu tidak membunuh ia akan menguatkan diri kita, layaknya obat terasa seketika pahit namun baik jika sabar menerimanya hingga tubuh kembali sehat kuat.
Rasulullah SAW pun menekankan pentingnya mengelola emosi dalam interaksi sosial:
“Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam gulat, tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan dirinya ketika marah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Mereka yang matang secara sosial bukan hanya mampu menjaga tutur kata, tapi juga memahami bahwa tak semua hal perlu dibalas dengan reaksi. Mereka membangun relasi dengan tulus, berpijak kuat pada harga diri yang sehat, dan melangkah mantap tanpa terus-menerus mencari pengakuan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin “Barangsiapa mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya.” Refleksi terhadap diri—kesadaran akan emosi, niat, dan respons kita terhadap orang lain—bukan hanya memperkuat kualitas relasi sosial, tetapi juga memperdalam hubungan spiritual dengan Allah.
Menjadi dewasa dalam interaksi sosial adalah perjalanan panjang yang melibatkan kejujuran terhadap diri sendiri, empati terhadap orang lain, dan pijakan spiritual yang kokoh. Kita tidak bisa mengendalikan perilaku orang lain, tapi kita bisa memilih bagaimana meresponsnya: dengan kesadaran, kebaikan, dan ketenangan hati.