“Dunia ini… panggung sandiwara, ceritanya mudah berubah…”
— God Bless, “Panggung Sandiwara”
Lirik legendaris dari God Bless seolah menggambarkan kenyataan yang sering kita rasakan—bahwa hidup ini seperti panggung besar, di mana manusia menjadi aktor-aktornya. Kita tampil, berganti peran, menyesuaikan wajah, dan kadang kehilangan arah sejati. Dalam sudut pandang Islam, dunia memang bukan tujuan akhir, melainkan ujian singkat untuk menentukan nasib abadi manusia.
Dalam realitas sosial, sering kali kita tampil berbeda dari siapa kita sebenarnya. Pertanyaannya: jika niat kita benar-benar tulus, mengapa masih ada sandiwara dalam keseharian kita? Apakah kepura-puraan itu sebatas strategi bertahan hidup, respon atas tuntutan sosial, atau cerminan dari niat yang belum sepenuhnya bersih?
Pertanyaan ini menuntut kita menggali lebih dalam makna keikhlasan. Apakah kita sungguh-sungguh menjalani hidup karena Allah, atau justru karena ingin tampil baik di mata manusia?
Antara Kenyataan dan Ilusi
Allah SWT menegaskan hakikat dunia dalam firman-Nya:
وَمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا إِلَّا لَعِبٌ وَلَهْوٌ ۖ وَلَلدَّارُ ٱلْءَاخِرَةُ خَيْرٌ لِّلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
“Dan kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan senda gurau. Sedangkan negeri akhirat itu sungguh lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mengerti?” (QS. Al-An’am: 32)
ٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّمَا ٱلْحَيَوٰةُ ٱلدُّنْيَا لَعِبٌ وَلَهْوٌۭ وَزِينَةٌۭ وَتَفَاخُرٌۢ بَيْنَكُمْ وَتَكَاثُرٌۭ فِى ٱلْأَمْوَٰلِ وَٱلْأَوْلَـٰدِ
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan, hiburan, perhiasan, saling berbangga di antara kamu, dan berlomba-lomba dalam kekayaan dan anak keturunan…” (QS. Al-Hadid: 20)
Dua ayat ini mengingatkan bahwa dunia menawarkan kemilau yang bisa menipu. Ia adalah ujian dalam bentuk citra, status, dan kompetisi. Ketika Manusia terjebak dalam peran, hingga kadang lupa pada sejatinya tujuan.
Erving Goffman dalam karya sosiologisnya The Presentation of Self in Everyday Life menggambarkan bahwa manusia menampilkan “wajah depan” kepada publik demi pencitraan sosial. Ini selaras dengan fenomena “topeng sosial” yang juga dibahas dalam kajian psikologi modern.
Dalam psikologi gelap (dark psychology), Michael Pace menunjukkan bahwa manipulasi seperti gaslighting dan love bombing adalah bentuk nyata dari sandiwara sosial yang membahayakan relasi dan kejujuran. Fenomena ini memperlihatkan bahwa sandiwara bukan hanya strategi, tetapi bisa berubah menjadi penyakit sosial hingga bedampak pada sehatnya hubungan antar sesama.
Niat: Inti dari Amal
Islam menempatkan niat di pusat setiap tindakan. Rasulullah SAW bersabda:
“إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى…”
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan sesungguhnya setiap orang (akan dibalas) berdasarkan apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Namun, manusia tidak selalu jujur dengan niatnya sendiri. Bahkan terhadap dirinya, seseorang bisa tidak sadar bahwa niatnya telah tercampur. Oleh karena itu Rasulullah SAW mengajarkan:
“اللهم إني أعوذ بك من شر سمعي، ومن شر بصري، ومن شر لساني، ومن شر قلبي، ومن شر منيي”
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari kejahatan pendengaranku, penglihatanku, lisanku, hatiku, dan dari keburukan niatku.” (HR. Tirmidzi)
Allah SWT pun menegaskan:
وَأَسِرُّوا۟ قَوْلَكُمْ أَوِ ٱجْهَرُوا۟ بِهِۦٓ ۖ إِنَّهُۥ عَلِيمٌۢ بِذَاتِ ٱلصُّدُورِ
“Dan rahasiakanlah perkataanmu atau nyatakanlah; sesungguhnya Dia Maha Mengetahui segala isi hati.” (QS. Al-Mulk: 13)
Apa yang kita rahasiakan sedemikian rupa demi menjaga citra belum tentu sampai pada ridha-Nya. Manusia memiliki rencana, Allah sebaik-baik pemilik rencana, maka peran kita sebagai apa jua yang menuntut diri tampil “bersandiwara” jangan terlupa hanyut dalam permainan dunia.
Dunia modern kini, tidak sedikit orang kehilangan identitas sejati karena terlalu lama memerankan citra yang menuntut tampil sempurna. Pemimpin bisa lupa bahwa ia adalah hamba. Pendakwah bisa lupa bahwa ia manusia biasa. Ketika peran menjadi identitas, maka biasanya keikhlasan mulai memudar.
Sayyid Quthb dalam Fi Zhilalil Qur’an mengingatkan “Amal tanpa ikhlas adalah seperti tubuh tanpa ruh, dan amal karena Allah akan tetap hidup meski tak dilihat manusia.”
Mengapa kita bersandiwara ? satu penggalan tanya dalam lirik lagu dari God Bless sebagai satu pengingat janganlah sandiwara mengubah dari kehidupan kita sendiri yang sejati. Ketika kepalsuan menjadi kenyamanan, dan kejujuran terasa asing sejatinya kita telah kehilangan diri.
Menavigasi Hidup dengan Kesadaran Ruhani
Untuk keluar dari jebakan sandiwara, Islam menawarkan panduan:
1. Menyucikan Niat (Ikhlas):
وَمَا أُمِرُوا۟ إِلَّا لِيَعْبُدُوا۟ ٱللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ ٱلدِّينَ
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan ikhlas menaati-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus…” (QS. Al-Bayyinah: 5)
2. Memilih Lingkungan:
المرء على دين خليله، فلينظر أحدكم من يخالل
“Seseorang itu tergantung agama sahabatnya. Maka perhatikanlah siapa yang menjadi sahabatnya.” (HR. Abu Dawud)
3. Menghindari Riya dan Ujub: Ibnul Qayyim menyebut riya sebagai “penyakit hati yang tersembunyi namun mematikan”. Ia menghancurkan amal sebelum sampai kepada Allah.
4. Mengingat Kematian:
ٱلَّذِى خَلَقَ ٱلْمَوْتَ وَٱلْحَيَوٰةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًۭا
“[Allah] yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang paling baik amalnya.” (QS. Al-Mulk: 2)
Hidup adalah ujian, pada rupa pentas panggung sandiwara dunia, di sana kita punya peran, kita punya naskah, dan kita punya penonton. Namun satu-satunya penilaian yang sahih adalah dari Allah SWT. Maka jangan habiskan waktu untuk bermain peran yang tak menyelamatkan.
Sebagaimana nasihat Hasan al-Bashri “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu hanyalah kumpulan hari. Jika satu harimu pergi, maka sebagian darimu ikut pergi.”
Mainkan peran hidupmu dengan jujur dan ikhlas. Karena ketika tirai panggung dunia ditutup, hanya niat dan amal yang murni karena Allah yang akan abadi. wallahu’alam