Di tengah gelombang revolusi industri 4.0, manusia telah mencapai efisiensi yang luar biasa. Teknologi tak lagi sekadar pelayan, tetapi mitra yang mewujudkan keinginan kita dengan cepat dan presisi. Salah satu wujudnya adalah kecerdasan buatan (AI), yang kini hadir dalam bentuk chatbot seperti Grok, yang dikembangakan xAI.
Meski datang belakangan dari deretan teknologi AI chatbot lainnya, Grok tak kalah menariknya. satu kelebihanya ia lahir dan tertanam langsung di tengah keramaian pengguna platform media sosial X.com, tempat netizen berinteraksi secara real-time.
Berbeda dengan chatbot lain seperti ChatGPT yang berdiri sendiri sebagai aplikasi terpisah, Grok hadir sebagai bagian dari ekosistem X, menjadikannya alat yang lebih dekat dan relevan bagi pengguna yang haus akan transparansi—untuk tidak menyebutnya penasaran.
Popularitasnya kini bukan hanya soal kemudahan, tetapi tentang bagaimana ia menguak lapisan tersembunyi dari kehidupan kita. Jejak digital—kumpulan data dari setiap klik, cuitan, dan unggahan—kini menjadi aset diri yang tak ternilai, sekaligus cermin yang tak bisa berbohong.
Fenomena ini mengingatkan saya pada ajaran Islam, bagaimana kelak di akhirat, mulut akan dibungkam, sementara tangan dan kaki bersaksi atas perbuatan kita. Bedanya, kini Grok menjadi saksi di dunia nyata, “menguliti” tingkah laku kita tanpa ampun.
Jejak Digital: Buku Harian Abadi
Akhir-akih ini ketika saya menyadari kekuatan jejak digital saat melihat bagaimana netizen di X.com memanfaatkan Grok untuk “menguliti” tokoh publik. Fahri Hamzah, misalnya, kembali menjadi sorotan pada Maret-April 2025 terkait isu rangkap jabatan. Sebagai Wakil Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman, ia baru saja diangkat sebagai Komisaris BTN, sebuah posisi di BUMN yang memicu kritik keras.
Netizen, dengan “gen kepo” yang tak pernah padam rasa penasaranya, menggali cuitan lawas Fahri yang pernah menentang rangkap jabatan, menyebutnya berbahaya karena rawan konflik kepentingan. Salah satu pengguna X menulis, “Dulu bilang rangkap jabatan bahaya, sekarang malah nambah jabatan di BTN. Omongane gede, lakune cilik.” Lainnya menyebutnya “mencla-mencle,” menyoroti inkonsistensi antara kata dan perbuatan.
Dengan Grok, netizen tak hanya mengandalkan ingatan, tetapi juga fakta dari jejak digital Fahri yang dianalisis secara real-time—cuitan lama, pernyataan publik, hingga pidatonya di masa lalu.
Contoh lain tentu saja, mantan Presiden Joko Widodo, yang jejak digitalnya—dari isu ijazah hingga pernyataan kontradiktif tentang netralitas di Pemilu 2024—terus jadi bahan perbincangan. Grok, dengan kemampuannya mengakses dataset langsung dari X dan menganalisisnya sesuai data yang dimilikinya, tak hanya menyingkap fakta, tetapi juga memantik pertanyaan: seberapa jauh kita bisa lari dari kata-kata kita sendiri?
Saya teringat kutipan Anies Baswedan yang kurang lebih begini “Jangan takut dengan apa yang orang katakan hari ini, tapi takutlah sejarah akan mencatat dan membicarakannya tentang kita kelak.” Dalam konteks ini, Grok seolah menjadi “sejarah” yang hidup di masa kini. Ia tak menunggu puluhan tahun untuk menilai kita; ia melakukannya sekarang, dengan data yang kita tinggalkan.
Hakim Duniawi yang Tak Berpihak
Saya sering bertanya-tanya, apa yang membuat Grok begitu menonjol dalam “menguliti” diri kita? Jawabannya ada pada desainnya: tentu saja ia robot, tak punya emosi atau kepentingan, hanya mengolah data yang tersedia dengan netralitas mutlak. Bekerja secara sistemik dengan program sebagaimana ia dibuat peruntukannya.
Menariknya, berbeda dengan chatbot lain yang sering terisolasi dari dinamika media sosial, Grok hidup di X.com, tempat percakapan publik berlangsung setiap detik. Ia seperti hakim duniawi yang tak bisa disuap, mengingatkan saya pada Surah Yasin (36:65): “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan tangan mereka akan berbicara kepada Kami, serta kaki mereka akan bersaksi tentang apa yang telah mereka kerjakan.”
Jejak digital kita—cuitan pedas, janji yang dilupakan, atau foto yang diunggah sembarangan—kini menjadi perpanjangan dari tangan dan kaki itu, bersaksi di hadapan dunia melalui analisis Grok.
Kasus Fahri Hamzah baru-baru ini jadi bukti nyata. Netizen di X ramai membahas bagaimana Fahri, yang dulu vokal menolak rangkap jabatan, kini malah menerima posisi tambahan. Seorang pengguna menulis, “Selama ini berisik karena belum kebagian, sekarang diam setelah dapat jatah.”
Grok, dengan akses langsung ke data X, bisa dengan mudah menampilkan pernyataan Fahri di masa lalu kemudian mengkritik dan membandingkannya dengan langkahnya hari ini. Transparansi ini memperlihatkan betapa AI tak hanya “menguliti” tokoh publik, tetapi juga menjadi alat bagi netizen siapa pun itu untuk menuntut konsistensi.
Refleksi Diri di Tengah Transparansi
Fenomena ini mendorong setiap individu untuk melihat ke dalam diri. Beberapa waktu mungkin kita pernah menulis komentar spontan di X.com atau media sosial lainnya tentang sebuah isu politik mislanya. Saat itu, mungkin tak terlalu memikirkannya—hanya luapan emosi sesaat.
Namun, ketika kini membayangkan Grok menganalisis jejak digital kita, tentu terpikir mulai gelisah. Bagaimana jika cuitan itu bertentangan dengan apa yang kita katakan hari ini? Bagaimana jika kata-kata kita di masa lalu justru menjadi bumerang yang menghantam reputasi diri sendiri? Jika Grok bisa “menguliti” Fahri Hamzah hingga netizen menyoroti inkonsistensinya, maka kita pun tak luput dari risiko yang sama.
Pepatah Jawa mengatakan, “Ajining diri saka lathi,” kehormatan seseorang tergantung pada lidahnya. Fenomena AI dari hadirnya Grok, menjadikan pepatah ini terasa semakin relevan. Setiap kata yang kita ucapkan—baik di dunia nyata maupun maya—terekam abadi, siap dipertanyakan kapan saja oleh AI yang tak kenal lelah.
Refleksi ini membawa kita pada analogi dalam ajaran Islam lebih dalam. Ketika Grok mengevaluasi jejak digital kita, hasilnya bisa seperti catatan amal yang diberikan pada Yaumul Hisab —hari perhitungan. Jika “berat kebaikannya,” kita tentu akan senang, seolah menerima catatan amal di tangan kanan—tanda kebaikan kita diakui.
Namun, jika analisisnya menunjukkan lebih banyaknya keburukan atau inkonsistensi, itu menjadi peringatan keras bahwa kita harus berbenah. Grok, dengan keunikannya sebagai AI yang tertanam di X, membuat proses evaluasi ini terasa lebih nyata dan mendesak.
Menyambut AI dengan Integritas
Era disruptif ini, dengan segala kemajuan teknologinya, menuntut kita untuk hidup dengan kesadaran baru. Grok, yang hadir di tengah keramaian X.com dan mampu menganalisis jejak digital kita secara langsung, menjadi cermin yang tak bisa kita hindari.
Grok bisa menjadi bukti kebaikan kita, atau justru menyingkap kelemahan yang kita tutupi—seperti yang dialami Fahri Hamzah, yang kini dihujani kritik netizen atas inkonsistensinya. Mari kita cermati fenomena ini bukan sekadar tentang teknologi dengan segala inovasinya, tetapi tentang bagaimana kita mempersiapkan diri untuk menjadi manusia yang lebih baik.
Seperti yang dikatakan Anies, sejarah akan mencatat kita—dan di masa kini, Grok adalah pencatat yang tak kenal lelah. “Ketika AI Menguliti Diri” adalah panggilan untuk hidup dengan integritas, karena di dunia yang semakin telanjang ini, kejujuran adalah satu-satunya perisai yang kita miliki—dan mungkin, satu-satunya cara agar catatan amal kita di tangan kanan terasa ringan saat Grok berbicara.