Tulisan ini terinspirasi dari dua sosok yang begitu menginspirasi penulis dalam memahami makna dari peristiwa dan hubungan manusia dengan Tuhan. Yang pertama adalah Ustadz MD Karyadi, Ketua DMW Hidayatullah DKI Jakarta. Dalam sebuah perbincangan empat mata—disela kegitan pertemua dai Hidayatullah di Bekasi, beliau menyampaikan bahwa peristiwa pada dasarnya bersifat netral—baik atau buruknya suatu peristiwa sepenuhnya tergantung pada bagaimana persepsi manusia terhadapnya.
Inspirasi kedua datang dari Ustadz Abdurahman Muhammad, Bapak Pemimpin Umum Hidayatullah. Dalam acara Halaqah Kubro di Ciawi, Bogor, kurang lebih dua pekan sejak tulisan ini terunggah, beliau menjelaskan bahwa taufik hadir ketika keinginan manusia selaras dengan kehendak Tuhan, yang termanifestasi dalam bentuk hidayah.
Dari dua inspirasi ini, saya merenungkan kembali bagaimana manusia memahami dan merespons setiap peristiwa yang terjadi dalam hidup. Adakah peristiwa hadir hanya karena kita berpikir, sebagaimana yang dinyatakan oleh filsuf Descartes dalam ungkapan terkenalnya, cogito ergo sum—”Aku berpikir, maka aku ada”? Dan lebih lanjut, apakah baik atau buruknya peristiwa itu tergantung pada bagaimana manusia menanggapinya, atau ada dimensi lain yang terlibat, yaitu kehendak Tuhan dan sunatullah?
Hidayah, Taufik dan Persepsi
Secara bahasa, kata “hidayah” berasal dari bahasa Arab: هداية (hidāyah) yang berarti petunjuk atau bimbingan. Secara istilah, hidayah adalah petunjuk yang sangat halus dan lemah lembut guna mengantarkan seseorang pada kebenaran dan kebaikan. Menurut Ibnu Qayyim, hidayah adalah penerangan atau petunjuk jalan yang menyampaikan kepada tujuan sehingga meraih kemenangan di sisi Allah.
Hidayah merujuk kepada petunjuk atau bimbingan dari Tuhan yang membawa manusia pada kebenaran, baik melalui wahyu (qouliyah) maupun melalui tanda-tanda di alam semesta (kauniyah). Hidayah ini adalah kehendak Tuhan yang ditetapkan untuk setiap makhluk, memberikan mereka kemampuan untuk menemukan jalan yang benar.
Sebagaimana digambarkan dalam Al-Quran, “Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya” (QS. Al-Kahf: 17). Hidayah adalah prinsip dasar yang mengarahkan manusia dalam interaksinya dengan Tuhan dan alam semesta.
Sementara itu, taufik adalah bentuk spesifik dari kehendak Tuhan, di mana keinginan manusia sejalan dengan kehendak ilahi. Taufik adalah hasil dari kesesuaian antara kehendak diri dan kehendak Tuhan. Ketika seseorang mendapat taufik, ia diberi kemampuan untuk mencapai apa yang benar dan baik menurut pandangan Tuhan. Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan Ustadz Abdurahman Muhammad, bahwa taufik hadir ketika keinginan manusia selaras dengan hidayah Tuhan.
Dari sudut pandang manusia, persepsi memegang peranan penting dalam memahami peristiwa. Sebagaimana dijelaskan oleh Ustadz MD Karyadi, peristiwa pada dasarnya netral—baik atau buruknya suatu peristiwa ditentukan oleh cara manusia mempersepsikan dan memaknainya. Dengan pandangan yang tepat, di bawah naungan hidayah, manusia dapat menjadikan setiap peristiwa sebagai jalan menuju kebaikan dan keberhasilan.
Dengan demikian, peristiwa yang tampak buruk dalam pandangan manusia pada dasarnya adalah bagian dari rencana ilahi yang lebih besar, jika disikapi dengan taufik dan pemahaman yang benar.
Elaborasi Persepsi, peristiwa dan Kehendak Ilahi
Dalam kehidupan sehari-hari, kita menyaksikan berbagai macam peristiwa, dari hal-hal sederhana hingga kejadian-kejadian besar yang mengubah arah hidup. Dalam Islam, peristiwa-peristiwa ini tidak lepas dari kehendak Tuhan.
Allah SWT telah menetapkan hukum-hukum alam (sunatullah) yang mengatur bagaimana segala sesuatu bekerja di alam semesta ini, baik yang bersifat fisik maupun spiritual. Kehendak-Nya (hidayah) juga hadir dalam dua bentuk: secara qouliyah, yaitu melalui ajaran langsung-Nya yang disampaikan oleh para Rasul, dan secara kauniyah, melalui alam dan segala kejadian yang mengitarinya.
Ketika kita berbicara tentang peristiwa, salah satu konsep kunci yang perlu dipahami adalah netralitas dari peristiwa itu sendiri. Ustadz MD Karyadi menjelaskan bahwa baik atau buruknya sebuah peristiwa adalah persepsi manusia. Ini sejalan dengan gagasan bahwa manusia memiliki kebebasan memilih bagaimana ia akan bereaksi terhadap apa yang terjadi.
Dari perspektif Barat, filsuf seperti Immanuel Kant menyebutkan bahwa “Dunia itu bukanlah sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana kita melihatnya.” Pandangan ini menekankan bahwa interpretasi manusia memainkan peran penting dalam menentukan nilai sebuah peristiwa.
Lebih dalam lagi, Ustadz Abdurahman Muhammad memperkaya pemahaman ini dengan menyatakan bahwa taufik hadir ketika keinginan kita selaras dengan kehendak Tuhan. Ini mengandung makna bahwa kebaikan yang sejati tidak semata-mata terletak pada hasil peristiwa, tetapi pada bagaimana keinginan kita sebagai manusia disejajarkan dengan apa yang Tuhan kehendaki.
Dalam Al-Qur’an disebutkan: “Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah [2]: 216). Ayat ini mengingatkan kita bahwa kebaikan dan keburukan tidak selalu sejalan dengan keinginan kita, tetapi selalu sesuai dengan hikmah Ilahi yang lebih luas.
Kunci Meraih Taufik
Dengan pandangan ini, peristiwa yang kita alami—baik yang kita sukai maupun yang tidak—sebenarnya adalah manifestasi dari hidayah Allah SWT. Kehidupan ini pada dasarnya adalah ujian persepsi dan respon. Bagaimana manusia meresponnya dengan sikap sabar, syukur, dan tawakkal, adalah kunci untuk meraih taufik dari Allah SWT.
Para pemikir Muslim seperti Al-Ghazali juga menekankan pentingnya mengendalikan persepsi dan nafsu manusia dalam menghadapi peristiwa. Dalam kitabnya Ihya Ulumuddin berbicara tentang konsep kebahagiaan yang sejati, di mana ia menegaskan bahwa kebahagiaan datang ketika manusia menyelaraskan jiwanya dengan kehendak Allah bukan dengan hawa nafsu atau keinginan duniawi yang dangkal. Ini selaras dengan konsep taufik yang disampaikan oleh Ustadz Abdurahman, di mana penyelarasan keinginan manusia dengan hidayah Tuhan menghasilkan harmoni dan kebahagiaan sejati.
Dalam tulisan ini kita, untuk merenungi kembali cara kita memandang dan merespons peristiwa dalam hidup. Setiap peristiwa adalah netral, dan kemudian bagaimana kita memaknainya menentukan apakah ia menjadi baik atau buruk bagi kita.
Penting untuk memahami bahwa kebahagiaan yang sejati datang ketika keinginan kita selaras dengan kehendak Tuhan. Dalam setiap kejadian, Tuhan telah menebarkan hidayah-Nya, baik melalui ajaran qouliyah maupun kauniyah, dan dengan mengikuti hidayah itu, kita akan mendapatkan taufik—keselarasan sempurna antara keinginan manusia dan kehendak Ilahi.waAllahu’alam