‘Malunya’ Punya Sahabat Tawadhu

Posted on

Ada dua sahabat, sebut saja mereka Haris dan Ahsan. Mereka sudah bersahabat sejak lama—cukup lama hingga Haris merasa seperti dia mengenal Ahsan luar-dalam. Tapi, ada satu hal yang selalu membuat Haris merasa ‘malu’ setiap kali memperkenalkan Ahsan kepada orang-orang besar atau tokoh penting. Bukan karena Ahsan orang yang aneh, justru sebaliknya. Ahsan adalah orang yang begitu luar biasa…tapi dalam diam. Bahkan mungkin terlalu diam.

Ceritanya selalu sama. Setiap kali Haris memperkenalkan Ahsan kepada tokoh penting, dengan penuh semangat dia berkata, “Kenalkan, ini Ahsan. Orang yang luar biasa.” Haris siap dengan senyuman bangga, berharap mendengar reaksi kagum dari lawan bicaranya. Namun, apa yang dia dapatkan justru, “Oh, Ahsan? Tentu, sudah lama kenal dia. Dia yang membantu saya saat…,” lalu cerita panjang lebar tentang kebaikan Ahsan pun mengalir.

Di momen itu, Haris selalu merasa seperti seseorang yang baru saja memperkenalkan presiden kepada rakyatnya. Seperti: kok semua orang sudah kenal sih?

Sementara Haris berusaha menguasai diri dari rasa malu, Ahsan hanya berdiri di sana dengan senyum tipisnya yang khas, seolah berkata, “Yah, memang begitu adanya.” Dan tentu saja, Ahsan tak pernah memberi tahu Haris tentang semua hal besar yang pernah dia lakukan.

Haris baru mengetahuinya dari orang-orang lain. Malu? Iya. Bingung? Jelas. Tapi Haris tidak bisa marah—ini bukan salah Ahsan. Justru karena Ahsan terlalu tawadhu, terlalu rendah hati, hingga semua kebaikannya hanya menjadi rahasia terbuka di kalangan orang-orang yang dia bantu.

Bayangkan, Haris dengan bangga memperkenalkan Ahsan seperti memperkenalkan harta karun, hanya untuk mendengar, “Oh, kami sudah kenal baik. Dia membantu kami saat proyek besar itu gagal, dia yang menyelamatkan situasi.” Haris hanya bisa tersenyum lemah dan berpikir, Kenapa Ahsan tidak pernah bilang? Dasar tawadhu ketus, pikir Haris sambil menggeleng pelan.

Baca :  Kambing Hitam: Di Antara Sebab dan Alasan

Tapi di balik rasa malu dan keheranannya, Haris sebenarnya menyadari sesuatu. Ada pelajaran besar di sini. Mungkin, tidak semua orang perlu panggung besar untuk diakui. Kebaikan sejati memang tidak selalu butuh sorotan. Dan orang seperti Ahsan adalah buktinya. Dia tidak pernah merasa perlu menceritakan semua yang dia lakukan. Bagi Ahsan, kebaikan adalah bagian dari dirinya, seperti halnya bernapas—dilakukan tanpa perlu dipikirkan atau diumbar.

Ahsan memang tidak pernah mengangkat dirinya sendiri, tetapi ternyata orang-orang di sekitarnya sudah mengenalnya lebih baik dari yang Haris duga. Setiap kali Haris mencoba memperkenalkan Ahsan sebagai orang yang ‘luar biasa,’ dia selalu diingatkan bahwa orang-orang sudah lama mengenal kehebatan Ahsan tanpa perlu dia bersuara.

Dan di situlah Haris belajar bahwa mungkin, ada sesuatu yang lebih berharga dari pengakuan atau tepuk tangan—yaitu ketulusan. Ahsan menunjukkan bahwa menjadi ‘luar biasa’ tidak harus datang dengan pengumuman besar. Kebaikan bisa dilakukan dalam senyap, dan itulah yang sebenarnya membuatnya begitu berharga.

Meskipun kadang-kadang Haris merasa malu karena Ahsan, dia juga bangga. Bagaimana tidak? Punya sahabat yang kebaikannya tersembunyi, tapi diakui oleh semua orang, adalah sesuatu yang langka. Mungkin Haris merasa ‘malu’, tapi di balik rasa malunya itu, ada kebanggaan terselubung. Dasar sahabat tawadhu ketus, bikin malu sekaligus bangga!

Visited 20 times, 1 visit(s) today

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *