Meniti karir dalam usia muda menjadi tantangan yang menarik. Dengan menitinya bisa mempersiapkan membawa pada perkembangan diri dengan pekerjaan yang mengantarkan pada posisi yang diharapkan, kesuksesan. Karir dalam KBBI merupakan perkembangan dan kemajuan dalam kehidupan, pekerjaan, jabatan, dan sebagainya.
Dalam sebuah perbincangan hangat, seorang kawan membuat pernyataan bahwa: ia berusaha menghindari bahkan meniadakan syahwat—hasrat atau keinginan—untuk tidak ambisi dalam karir. Semacam ada ketakutan kalau diri merasa seorang yang ambisius dengan adanya keterlibatan syahwat pada karir.
Pernyataan tersebut memicu refleksi mendalam, dan saya merespon dengan pandangan bahwa syahwat itu penting dan harus ada. Tanpa syahwat, proses kaderisasi akan berhenti untuk menempati pos-pos pekerjaan, dan bahkan kehidupan organisasi bisa mengalami kepunahan. Namun, syahwat bukanlah sesuatu yang dibiarkan begitu saja; ada manajemen dan kebijaksanaan dalam mengelolanya, sebagaimana Islam mengajarkan.
Secara bahasa, kata “syahwat” berasal dari bahasa Arab yang berarti “keinginan yang kuat” atau “hasrat”. Dalam terminologi Islam, syahwat mencakup segala bentuk keinginan yang mendorong manusia untuk memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani.
Al-Qur’an menyebut syahwat dalam berbagai konteks, termasuk syahwat terhadap harta, kekuasaan, dan kenikmatan duniawi (QS. Ali ‘Imran [3]: 14).
“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).”
Syahwat bukanlah sesuatu yang sepenuhnya negatif, melainkan merupakan bagian alami dari naluri manusia yang, jika dikelola dengan baik, dapat menjadi pendorong ke arah yang positif.
Motivasi dalam Karir
Syahwat bisa disamakan dengan konsep motivasi intrinsik dalam psikologi modern. Abraham Maslow dalam teori Hierarki Kebutuhan menyebutkan bahwa kebutuhan tertinggi manusia adalah aktualisasi diri, yang hanya dapat dicapai melalui dorongan dari dalam diri—syahwat untuk menjadi yang terbaik.
Tanpa syahwat, manusia tidak akan memiliki motivasi untuk mencapai puncak piramida tersebut. Syahwat ini, jika diarahkan dengan benar, dapat memunculkan potensi terbaik seseorang dalam karir, apapun itu organisasinya.
Sigmund Freud, seorang pemikir klasik, juga menyinggung tentang kekuatan hasrat dalam teori psikoanalisisnya. Ia menyebut bahwa hasrat (libido) adalah salah satu energi dasar yang mendorong perilaku manusia.
Dalam konteks karir, hasrat ini bisa berupa keinginan untuk sukses, diakui, atau mencapai sesuatu yang bermakna. Dengan demikian, syahwat dalam konteks karir bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi justru perlu disalurkan dengan cara yang produktif.
Syahwat Politik dan Kaderisasi
Menurut Aristoteles secara kodrati manusia adalah makhluk politik, semakin menarik untuk membandingkan syahwat politik dengan syahwat biologis. Seperti halnya syahwat biologis yang mendorong kelangsungan hidup melalui reproduksi, syahwat politik mendorong kelangsungan hidup organisasi melalui kaderisasi.
Syahwat politik ini penting untuk memastikan bahwa organisasi terus hidup dan berkembang dengan melahirkan kader-kader yang siap menempati posisi-posisi strategis. Tanpa syahwat politik, organisasi akan stagnan dan kehilangan daya saing.
Syahwat, dalam segala bentuknya, adalah bagian integral dari kehidupan manusia. Dalam karir, syahwat merupakan pendorong yang sangat penting. Namun, syahwat harus dikelola dengan bijak sesuai dengan ajaran agama dan nilai-nilai moral.
Mencari Keseimbangan
Namun, syahwat tidak boleh dibiarkan tak terkendali. Seperti yang diajarkan dalam Islam, syahwat harus dikelola dengan bijak. Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin menyebutkan bahwa syahwat adalah bagian dari ujian hidup manusia.
Manusia harus mampu mengendalikan syahwat agar tidak terjerumus dalam keserakahan yang dapat merusak dirinya sendiri dan orang lain. Dalam konteks karir, ini berarti menjaga keseimbangan antara ambisi dan etika. Ambisi yang terlalu besar tanpa dibarengi dengan kontrol diri bisa berakhir pada praktik-praktik yang tidak etis dan merugikan.
Syahwat juga bisa dilihat sebagai sumber energi yang mendorong inovasi dan kreativitas. Friedrich Nietzsche, seorang filsuf modern, berbicara tentang “Will to Power” atau kehendak untuk berkuasa, yang dapat dipahami sebagai syahwat untuk mencapai dan menguasai sesuatu.
Syahwat ini bisa memunculkan ide-ide baru dan dorongan untuk menciptakan sesuatu yang bermanfaat. Dengan demikian, syahwat bukanlah musuh, melainkan bahan bakar yang perlu diarahkan untuk mencapai tujuan yang lebih besar.
Islam mengajarkan mengelola syahwat dengan bijak. Islam tidak membiarkan syahwat berkembang tanpa kontrol, tetapi juga tidak meniadakannya. Dalam QS. Al-Mu’minun [23]: 5-7, Allah SWT memerintahkan manusia untuk menjaga syahwatnya dalam batasan yang dihalalkan.
Hal ini menunjukkan bahwa syahwat diakui keberadaannya dan harus diatur dalam kerangka yang benar. Manajemen syahwat ini mencakup semua aspek kehidupan, termasuk dalam karir dan ambisi politik.
Islam memberikan panduan yang jelas tentang bagaimana mengelola syahwat agar menjadi kekuatan yang membawa kebaikan, bukan kehancuran. Syahwat politik pun, jika dikelola dengan benar, dapat menjadi sarana untuk memastikan keberlanjutan organisasi dan proses kaderisasi.
Dengan demikian, syahwat bukanlah sesuatu yang harus dihindari, melainkan sesuatu yang harus dimanfaatkan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab. Maka syahwat seperti ini penting menjadikan diri siap meniti karir dan penting bagi eksistensi organisasi yang berkelanjutan.