Literasi, dalam pengertian teknis, seringkali dipahami hanya sebagai kemampuan membaca dan menulis. Namun, esensi dari literasi jauh lebih dalam dari itu. Literasi sejati adalah kemampuan untuk berpikir kritis, menilai informasi secara bijak, dan menumbuhkan nilai-nilai yang membawa kehidupan ke arah yang lebih baik.
Ketika kita berbicara tentang literasi, terutama di era modern ini, masalah utamanya bukanlah sekadar kurangnya keterampilan membaca, melainkan hilangnya esensi dari literasi sebagai alat untuk berpikir kritis dan menumbuhkan nilai yang berasal dari dalam diri seseorang.
Hilangnya Esensi Literasi
Di tengah era keberlimpahan informasi dan derasnya arus digitalisasi, kita menghadapi kenyataan bahwa kemampuan literasi yang semata-mata teknis, seringkali tidak cukup untuk menghadapi tantangan zaman.
Banyak orang yang mampu membaca, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk menganalisis dan mengevaluasi informasi yang mereka terima. Akibatnya, mereka menjadi rentan terhadap hoaks, propaganda, dan manipulasi informasi.
Literasi, yang seharusnya menjadi alat untuk memberdayakan individu dan masyarakat, kini seringkali hanya menjadi aktivitas konsumtif tanpa refleksi mendalam.
Immanuel Kant, dalam esainya yang terkenal “What is Enlightenment?” (1784), menekankan pentingnya berpikir kritis dan kemampuan untuk menggunakan pemahaman sendiri.
Ia menulis: “Sapere aude! Have the courage to use your own understanding.” Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa keberanian untuk berpikir secara mandiri dan kritis adalah inti dari literasi yang sejati.
Namun, ketika literasi kehilangan esensi kritisnya, ia tidak lagi mampu membebaskan pikiran manusia dari belenggu kebodohan dan manipulasi.
Membangun dari Dalam Diri
Literasi sejati harus dilihat sebagai proses yang membangun dari dalam diri, menanamkan kemampuan berpikir kritis yang memampukan seseorang untuk memahami, menganalisis, dan memanfaatkan informasi secara bijak.
Ini bukan hanya tentang mengumpulkan pengetahuan, tetapi juga tentang bagaimana pengetahuan tersebut digunakan untuk menumbuhkan kebijaksanaan, moralitas, dan tindakan yang bertanggung jawab.
John Dewey, seorang filsuf dan pendidik Amerika, pernah berkata, “Education is not preparation for life; education is life itself.” (1916). Ini menekankan bahwa pendidikan, dan dalam hal ini literasi, adalah bagian integral dari kehidupan itu sendiri.
Literasi yang kritis memungkinkan seseorang untuk membangun nilai-nilai positif dari dalam diri yang kemudian menjadi fondasi untuk kehidupan yang lebih bermakna.
Sebagai dasar spiritual dan konseptual dalam Islam, Surat Al-‘Alaq ayat 1-5 memberikan panduan tentang pentingnya membaca sebagai alat untuk memperoleh pengetahuan dan memahami penciptaan. Allah SWT berfirman:
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, yang mengajar (manusia) dengan pena. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.”
(QS. Al-‘Alaq 96:1-5).
Ayat ini menegaskan bahwa literasi dalam Islam adalah proses yang menghubungkan individu dengan pengetahuan ilahi, yang kemudian harus digunakan untuk berpikir secara kritis dan mendalam tentang penciptaan dan kehidupan.
Ini adalah panggilan untuk tidak hanya membaca teks, tetapi juga untuk merenungkan, memahami, dan menerapkan pengetahuan tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Literasi Untuk Kehidupan Lebih Berarti
Ketika literasi dipandang sebagai alat untuk berpikir kritis, maka ia memiliki potensi besar untuk mengarahkan individu dan masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik.
Literasi tidak hanya tentang bagaimana seseorang dapat mengakses dan memahami informasi, tetapi juga tentang bagaimana informasi tersebut dapat diolah untuk menumbuhkan kebijaksanaan dan moralitas.
Literasi yang sejati adalah literasi yang mampu menuntun kita untuk membuat keputusan yang lebih baik, berkontribusi secara positif bagi masyarakat, dan menjalani kehidupan yang penuh makna.
Sebagai contoh konkret, literasi kritis memungkinkan seseorang untuk mengidentifikasi bias dalam media, membedakan antara fakta dan opini, serta mengembangkan argumentasi yang didasarkan pada fakta yang terverifikasi.
Ini berarti bahwa seseorang tidak hanya menerima informasi begitu saja, tetapi juga menganalisis, mempertanyakan, dan memahami implikasinya sebelum membuat keputusan. Dengan demikian, literasi kritis menjadi alat yang efektif dalam membangun masyarakat yang lebih bijak dan berdaya.
Tantangan dan Solusi
Menghidupkan kembali esensi literasi bukanlah tugas yang mudah di tengah arus deras informasi dan budaya konsumtif. Namun, ini bukan berarti tidak mungkin.
Pendidikan harus kembali pada akar literasi sebagai proses pembelajaran yang mendalam dan kritis, bukan sekadar mengejar angka melek huruf. Sistem pendidikan perlu dirancang ulang untuk menekankan pentingnya berpikir kritis dan reflektif dalam setiap proses belajar mengajar.
Selain itu, keluarga dan komunitas memiliki peran penting dalam menanamkan nilai-nilai literasi kritis sejak dini. Orang tua dan pendidik harus menjadi teladan dalam berpikir kritis dan memberikan ruang bagi anak-anak untuk mengeksplorasi dan menganalisis dunia di sekitar mereka.
Dengan demikian, literasi akan menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari yang membantu individu dan masyarakat bergerak menuju kehidupan yang lebih baik.
Giat literasi yang hanya berfokus pada aspek teknis semata tidak cukup untuk membangun peradaban yang lebih baik. Kita harus mengembalikan esensi literasi sebagai alat untuk berpikir kritis, menumbuhkan nilai-nilai dari dalam diri, dan mengarahkannya untuk kehidupan yang lebih baik.
Literasi yang sejati adalah literasi yang hidup dengan nilai, yang terus berkembang dalam diri individu dan masyarakat, membimbing kita untuk menjadi lebih bijak, lebih baik, dan lebih manusiawi.